Aceh, Kabartujuhsatu.news,– Direktur Forum Bangun Investasi Aceh (FBIA), M. Nur, S.H, menilai kehadiran negara dalam penanganan bencana alam yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera belum sepenuhnya mampu mengembalikan kewibawaan bangsa di mata masyarakat terdampak.
Meski berbagai kementerian dan lembaga negara telah turun langsung ke lapangan dengan beragam langkah konkret, proses pemulihan dinilai masih jauh dari harapan.
Menurut M. Nur, sejak awal bencana terjadi, pemerintah pusat telah menunjukkan respons cepat melalui pengerahan aparat TNI dan Polri untuk membuka akses wilayah terisolasi, mendistribusikan bantuan logistik, serta melakukan pembersihan area terdampak.
Selain itu, alat berat dari Kementerian Pekerjaan Umum dan instansi strategis lainnya juga dikerahkan guna mempercepat pemulihan infrastruktur dasar.
“Langkah-langkah tersebut menunjukkan bahwa negara memang hadir dalam penanggulangan bencana di Sumatera,” ujar M. Nur dalam keterangannya, Selasa. (23/12/2025).
Di sektor pendidikan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi telah menyalurkan bantuan biaya hidup senilai Rp17 miliar kepada mahasiswa dan dosen yang terdampak bencana.
Bantuan tersebut diberikan kepada 15.833 mahasiswa penerima PIP, 3.100 mahasiswa program ADik, serta 554 dosen.
Setiap mahasiswa menerima bantuan sebesar Rp1.250.000 per bulan selama tiga bulan, sementara dosen memperoleh Rp4.500.000 per bulan selama dua bulan.
Sementara itu, di sektor infrastruktur dasar, Kementerian Pekerjaan Umum tengah melakukan pemulihan sistem penyediaan air minum dan sanitasi.
Di Kabupaten Aceh Tamiang, pembangunan tiga Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) sedang dalam proses dan ditargetkan rampung dalam waktu tiga bulan.
Selain itu, sebanyak 334 unit sarana sanitasi sementara telah disalurkan ke wilayah terdampak.
Tak hanya itu, Kementerian PU juga mengerahkan 1.130 personel serta 872 unit alat berat di tiga provinsi terdampak bencana.
Untuk memulihkan akses transportasi masyarakat, pemerintah mencatat kebutuhan sekitar 69 unit jembatan Bailey yang akan dipasang di sejumlah titik strategis.
Di bidang perumahan, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman telah memulai pembangunan hunian tetap (huntap) sebagai solusi jangka panjang bagi warga terdampak.
Pada tahap awal, pemerintah menargetkan pembangunan 2.603 unit rumah, dengan realisasi awal meliputi 118 unit di Kabupaten Tapanuli Tengah, 200 unit di Kota Sibolga, dan 103 unit di Kabupaten Tapanuli Utara.
Adapun di sektor energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan bahwa hingga 18 Desember 2025, sebanyak 274.419 dari 274.564 pelanggan terdampak di Sumatera Barat telah kembali menikmati aliran listrik.
Saat ini, hanya 145 pelanggan yang masih mengalami pemadaman, khususnya di wilayah Jorong Lambeh (FCO Tulang Gajah Tinggi).
Meski berbagai upaya telah dilakukan, M. Nur menilai bahwa hampir satu bulan pascabencana, kondisi di lapangan masih membutuhkan kerja ekstra.
Menurutnya, kehadiran negara belum sepenuhnya dirasakan optimal oleh masyarakat terdampak.
“Masyarakat menginginkan penyelesaian yang cepat dan nyata, terutama terkait penyediaan perumahan, pemulihan lahan sawah agar kembali produktif, pembangunan dan perbaikan akses jalan, serta jaminan ekonomi bagi warga yang kehilangan mata pencaharian,” katanya.
Ia menegaskan bahwa penanganan bencana tidak boleh dilakukan secara setengah-setengah.
Negara harus bekerja secara penuh, berkelanjutan, dan berorientasi pada pemulihan jangka panjang.
Salah satu langkah strategis yang perlu dipertimbangkan, menurutnya, adalah pencabutan sejumlah konsesi perkebunan kelapa sawit di wilayah rawan bencana seperti Aceh Tamiang, Aceh Utara, Bireuen, dan Bener Meriah, yang dinilai mengalami kerusakan hutan dan lahan paling parah.
“Jika pemulihan ekonomi tidak segera dilakukan, masyarakat akan kehilangan mata pencaharian.
"Lahan pertanian rusak, infrastruktur lumpuh, dan kondisi ini berpotensi melahirkan masalah baru berupa kemiskinan struktural,” tegas M. Nur.
Terkait status bencana nasional, M. Nur menyebut bahwa perdebatan mengenai hal tersebut seharusnya tidak lagi menjadi fokus utama.
Menurutnya, yang lebih penting adalah bagaimana negara menunjukkan kewibawaannya melalui optimalisasi penggunaan dana APBN dan dukungan penuh pemerintah pusat, mengingat kemampuan fiskal daerah sangat terbatas.
“Anggapan bahwa negara belum bekerja itu keliru. Kehadiran kepala daerah, TNI, dan Polri di lapangan adalah bukti nyata bahwa negara telah hadir.
"Ribuan personel bekerja siang dan malam, dan itu patut diapresiasi,” ujarnya.
Namun demikian, ia mengingatkan agar pemerintah tidak bersikap reaktif terhadap kritik publik.
"Negara, kata dia, harus terus bekerja secara konsisten dan menyampaikan perkembangan penanganan bencana secara terbuka dan transparan kepada masyarakat.
“Jangan sampai negara baru bergerak setelah kritik keras muncul. Negara harus bekerja cepat, konsisten, dan transparan agar kehadirannya benar-benar dirasakan oleh rakyat,” tandasnya.
M. Nur menegaskan bahwa penanganan bencana di Sumatera merupakan tanggung jawab penuh negara, tidak hanya untuk memulihkan kehidupan masyarakat terdampak, tetapi juga untuk menjaga martabat dan kewibawaan bangsa di mata rakyatnya sendiri.
(Red)



