Makassar, Kabartujuhsatu.news, Dugaan praktik korupsi yang menyeret pengelolaan anggaran di RSUD Anwar Makkatutu, Kabupaten Bantaeng, resmi dilaporkan ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel). Laporan tersebut disampaikan oleh lembaga kajian dan pemantau kebijakan publik, Public Research Institute (PRI), yang menilai telah terjadi penyimpangan serius dan sistematis dalam pengadaan barang dan jasa rumah sakit daerah tersebut. Senin (29/12/2025).
Laporan PRI mencakup dugaan korupsi pada instalasi gizi, instalasi farmasi, serta pengadaan alat kesehatan, yang diduga melibatkan oknum pimpinan rumah sakit dan pihak rekanan swasta tertentu.
Praktik tersebut disinyalir telah berlangsung selama beberapa tahun dan berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara dalam jumlah signifikan.
Direktur Eksekutif PRI, Muh. Abduh Azizul Gaffar atau yang akrab disapa Abduh, menegaskan bahwa laporan tersebut bukan disusun berdasarkan asumsi, melainkan hasil kajian mendalam, investigasi lapangan, serta penelusuran dokumen dan keterangan dari sumber-sumber yang dinilai kredibel.
“Ini bukan laporan emosional. Kami menyusun laporan ini berdasarkan data, fakta, dan temuan lapangan. Dugaan yang kami sampaikan mengarah pada penyalahgunaan kewenangan dan perbuatan melawan hukum, bukan sekadar kesalahan administratif,” tegas Abduh.
Salah satu fokus utama laporan PRI adalah pengelolaan instalasi gizi RSUD Anwar Makkatutu. Kegiatan dengan nilai anggaran ratusan juta rupiah tersebut diduga tidak dilaksanakan sesuai ketentuan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
PRI menemukan indikasi kuat bahwa proses pengadaan tidak melalui mekanisme e-katalog, serta diduga terjadi pengondisian rekanan sejak tahap perencanaan.
“Pengadaan seolah sudah diarahkan sejak awal. Transparansi dan akuntabilitas patut dipertanyakan. Bahkan ada dugaan keterlibatan langsung oknum pimpinan rumah sakit dalam pengaturan rekanan,” ungkap Abduh.
Sorotan tajam juga diarahkan pada instalasi farmasi. Salah satu perusahaan rekanan, PT Sanzaya Medika Pratama, diduga melakukan mark-up harga obat secara tidak wajar, bahkan mencapai lebih dari 300 persen dibandingkan harga pasar.
Menurut PRI, selisih harga tersebut tidak rasional dan berpotensi kuat melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
“Jika benar harga obat dimark-up sampai ratusan persen dan dilakukan berulang dalam beberapa tahun, maka ini jelas indikasi korupsi, bukan lagi kelalaian,” kata Abduh.
Dalam pengadaan alat kesehatan (alkes), PRI mencium adanya praktik monopoli dan persekongkolan. Beberapa rekanan diduga kerap memenangkan proyek secara berulang tanpa persaingan sehat.
Lebih jauh, PRI menduga adanya intervensi langsung oknum pimpinan rumah sakit serta indikasi pemberian fee sebagai imbalan atas pengaturan proyek.
“Polanya berulang dan terstruktur. Ini bertentangan dengan prinsip pengadaan yang transparan, kompetitif, dan akuntabel,” tegas Abduh.
Tak hanya soal anggaran, PRI juga menyampaikan dugaan yang jauh lebih serius, yakni pengadaan dan/atau peredaran obat tanpa izin yang disinyalir digunakan untuk tujuan pengguguran kandungan dan diduga melibatkan oknum internal rumah sakit.
Abduh menyebut dugaan ini menyentuh aspek pidana berat dan pelanggaran etika medis.
“Ini bukan hanya soal korupsi, tetapi juga menyangkut keselamatan pasien, etika kedokteran, dan pelanggaran Undang-Undang Kesehatan. Aparat penegak hukum wajib menanganinya secara serius,” ujarnya.
PRI secara tegas mendesak Kejati Sulsel untuk segera melakukan penyelidikan dan penyidikan secara profesional, independen, dan transparan.
Seluruh pihak yang diduga terlibat, baik pejabat rumah sakit maupun rekanan swasta, diminta untuk dipanggil dan diperiksa.
PRI juga meminta Kejati Sulsel melakukan supervisi terhadap Kejaksaan Negeri Bantaeng, menyusul dugaan adanya upaya menghalang-halangi proses hukum.
“Kami mencium adanya dugaan transaksi bawah meja dan lobi-lobi untuk melemahkan penanganan perkara. Karena itu kami ingatkan aparat penegak hukum agar tidak ‘masuk angin’,” tegas Abduh.
Menurutnya, pelaporan ini merupakan bagian dari kontrol sosial dan dukungan nyata terhadap agenda pemberantasan korupsi.
“Uang negara harus kembali ke rakyat dalam bentuk pelayanan kesehatan yang layak. Negara tidak boleh kalah oleh praktik korupsi, lobi politik, atau kekuatan apa pun yang mencoba mengintervensi hukum,” pungkas Abduh.
(Red)



