Aceh Utara, Kabartujuhsatu.news, Pemerintah Kabupaten Aceh Utara akhirnya angkat bicara untuk meluruskan polemik yang muncul setelah pernyataan Gubernur Aceh, H. Muzakir Manaf (Mualem), yang meminta para bupati dan wali kota “tidak cengeng” dalam menghadapi bencana alam.
Pernyataan tersebut sempat menimbulkan spekulasi bahwa Gubernur tengah menyindir sejumlah kepala daerah, termasuk Bupati Aceh Utara, Azhar atau yang akrab disapa Ayahwa.
Namun, Juru Bicara Pemkab Aceh Utara, Muntasir Ramli, menegaskan bahwa spekulasi tersebut keliru.
Ia memastikan pernyataan Mualem tidak ada kaitan dengan kinerja Bupati maupun Wakil Bupati Aceh Utara.
“Pernyataan itu tidak diarahkan kepada Bupati Aceh Utara,” tegas Muntasir pada Sabtu, 6 November 2025.
“Sejak banjir terjadi, Bupati dan Wakil Bupati bekerja tanpa henti. Mereka turun langsung ke wilayah terdampak dari hari pertama, memimpin evakuasi, memastikan bantuan tersalurkan, dan terus bergerak meski kondisi medan sangat sulit.”
Menurutnya, dokumentasi yang beredar di media sosial, mulai dari video Ayahwa menembus lumpur, mengunjungi posko, hingga menggunakan perahu karet ke desa-desa terisolasi , merupakan bukti bahwa pimpinan daerah bekerja sepenuh tenaga.
Muntasir menjelaskan bahwa Mualem sebenarnya menyoroti kepala daerah yang justru tidak berada di Aceh saat bencana terjadi.
Dalam situasi banjir besar yang menelan banyak korban, kehadiran pimpinan daerah di lapangan menjadi faktor penting. Karena itu, menurut Muntasir, publik tidak perlu salah paham.
“Ayahwa tidak pernah meninggalkan Aceh selama bencana. Bahkan satu hari pun tidak,” ujarnya menegaskan.
Terkait sorotan publik terhadap surat pernyataan ketidaksanggupan yang ditandatangani Bupati Aceh Utara, Muntasir memberi penjelasan yang lebih komprehensif.
Menurutnya, surat tersebut bukanlah tanda Bupati ingin melepaskan tanggung jawab, melainkan bentuk permohonan bantuan karena situasi di lapangan sudah berada di ambang batas kemampuan daerah.
Ia juga menanggapi video Bupati yang menangis ketika meminta perhatian pemerintah pusat.
“Air mata itu bukan keputusasaan,” kata Muntasir. “Itu adalah beban empati. Pada hari ke-12, masih banyak jenazah yang belum dievakuasi, warga hilang, logistik minim, dan pengungsi terancam kelaparan. Beliau menangis karena memikirkan rakyatnya.”
Situasi Aceh Utara saat itu digambarkan sebagai salah satu bencana terburuk dalam beberapa tahun terakhir.
Infrastruktur lumpuh total: jalan putus, listrik padam berhari-hari, jaringan komunikasi hilang, dan sebagian besar wilayah terendam banjir hingga tak bisa ditembus kendaraan.
Dalam kondisi seperti itu, Bupati Ayahwa bersama tim BNPB, relawan, dan aparat hanya bisa mengandalkan perahu karet serta boat nelayan untuk masuk ke daerah-daerah terisolasi.
“Aceh Utara memiliki 27 kecamatan dan 852 Desa. Mustahil seorang bupati menangani darurat seluas itu tanpa dukungan penuh dari pusat andai kondisinya sudah benar-benar lumpuh,” jelas Muntasir.
Muntasir menutup keterangannya dengan menegaskan bahwa apa yang dilakukan Ayahwa selama masa tanggap darurat adalah upaya maksimal seorang pemimpin dalam kondisi kritis.
“Beliau bukan cengeng. Yang dilakukan adalah teriakan seorang pemimpin agar rakyatnya tidak mati kelaparan setelah selamat dari banjir,” katanya.
Menurut Muntasir, permintaan perhatian khusus kepada Presiden RI, H. Prabowo Subianto, merupakan langkah yang tepat dan wajar mengingat besarnya dampak bencana.
(Red)



