Jakarta, Kabartujuhsatu.news, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto secara resmi menetapkan sepuluh tokoh bangsa sebagai Pahlawan Nasional dalam upacara penganugerahan di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11).
Penganugerahan ini bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan 2025.
Sepuluh tokoh yang menerima gelar pahlawan nasional tersebut antara lain:
Jenderal Besar Soeharto (Jawa Tengah).
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) (Jawa Timur).
Mochtar Kusumaatmadja (Jawa Barat).
Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo (Jawa Tengah).
Marsinah (Jawa Timur).
Hj. Rahmah El Yunusiyah (Sumatra Barat).
Sultan Muhammad Salahuddin (Nusa Tenggara Barat).
Syaikhona Muhammad Kholil (Jawa Timur).
Tuan Rondahaim Saragih Garingging (Sumatra Utara).
Zainal Abidin Syah (Maluku Utara).
Daftar nama tersebut dipilih dari total 49 tokoh yang diusulkan, dengan 40 nama baru dan 9 nama carry over dari tahun sebelumnya.
Proses penetapan dilakukan setelah melalui kajian mendalam oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang diketuai oleh Fadli Zon.
Soeharto Resmi Sandang Gelar Pahlawan Nasional
Salah satu nama yang paling menyita perhatian publik adalah Jenderal Besar Soeharto, Presiden kedua Republik Indonesia.
Menurut Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Soeharto dinilai berhak menyandang gelar pahlawan nasional karena jasanya dalam membangun bangsa Indonesia selama 32 tahun masa kepemimpinannya.
“Ini merupakan bentuk penghormatan terhadap para pendahulu, terutama pemimpin bangsa yang memiliki jasa luar biasa terhadap negara,” ujar Prasetyo Hadi di Istana Negara.
Fadli Zon menambahkan bahwa Soeharto juga dinilai layak karena kiprahnya dalam berbagai operasi militer, seperti Serangan Umum 1 Maret 1949 dan Operasi Trikora untuk pembebasan Irian Barat pada 1960-an.
Namun demikian, penetapan Soeharto menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.
Sejumlah pihak menilai keputusan ini menutup mata terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama masa pemerintahannya.
Kontroversi dan Kritik
Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) menyebut langkah pemerintah sebagai keputusan yang mengecewakan.
“Ini langkah yang mengecewakan tapi tidak mengagetkan. Pemerintah seolah menutup mata terhadap sejarah kelam masa lalu,” kata Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, mewakili koalisi tersebut.
Penolakan juga datang dari KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), Mustasyar PBNU.
Ia menyatakan keberatannya terhadap keputusan pemberian gelar kepada Soeharto.
“Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional,” ujar Gus Mus di Rembang, Jawa Tengah.
Ia mengenang banyak ulama dan tokoh pesantren yang diperlakukan tidak adil selama masa pemerintahan Soeharto.
Ajakan untuk Melihat dari Sisi Positif
Menanggapi kritik tersebut, Mensesneg Prasetyo Hadi mengatakan bahwa perbedaan pendapat adalah hal wajar dalam kehidupan demokrasi.
Ia mengajak seluruh pihak untuk melihat keputusan tersebut dari sisi positif.
“Pro dan kontra itu bagian dari aspirasi. Tapi mari kita pandang ini sebagai bentuk penghormatan kepada pemimpin terdahulu yang telah berjasa bagi bangsa,” ujarnya.
Momentum Refleksi Hari Pahlawan
Penganugerahan gelar pahlawan nasional kali ini menjadi momentum refleksi tentang makna kepahlawanan dalam konteks kekinian.
Pemerintah menegaskan bahwa proses seleksi dilakukan dengan memperhatikan rekam jejak, kontribusi nyata, serta dedikasi bagi bangsa dan negara.
Upacara penganugerahan ditutup dengan penghormatan kepada para pahlawan yang telah berjuang untuk kemerdekaan dan kemajuan Indonesia.
Presiden Prabowo menyerukan agar generasi muda terus meneladani semangat perjuangan mereka dalam membangun Indonesia yang adil, makmur, dan berdaulat.
(Red)





