Gowa, Kabartujuhsatu.news, Pembangunan perumahan Nami Land yang berlokasi di Desa Kanjilo, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, terus menuai sorotan tajam dari publik. Proyek yang saat ini masih berjalan tersebut dinilai mengabaikan prinsip keberlanjutan lingkungan dan mengancam ketahanan pangan daerah.
Sorotan utama tertuju pada alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi kawasan perumahan. Lahan yang sebelumnya digunakan untuk menanam padi dan komoditas pangan lainnya kini terus berkurang seiring dengan perluasan pembangunan perumahan. Kondisi ini memicu kekhawatiran dari berbagai pihak karena berpotensi menurunkan produksi pangan lokal dan mengancam posisi Kabupaten Gowa sebagai salah satu lumbung padi utama yang menopang kebutuhan pangan Kota Makassar dan sekitarnya.
Tak hanya itu, perubahan tata guna lahan secara masif juga dinilai meningkatkan risiko bencana lingkungan seperti banjir tahunan, yang kerap melanda kawasan tersebut.
Danial, Koordinator Forum Aktivis Mahasiswa (Formasi), menilai bahwa pembiaran terhadap alih fungsi lahan produktif merupakan bentuk nyata dari kelalaian pemerintah daerah.
“Jika alih fungsi lahan produktif terus dibiarkan tanpa pengawasan dan evaluasi yang ketat, maka ketahanan pangan masyarakat Makassar dan sekitarnya bisa terganggu dalam waktu dekat. Ini bukan hanya isu lokal, tapi menyangkut hajat hidup orang banyak,” tegas Danial.
Ketua Investigasi dan Advokasi Korupsi (Inakor) Gowa ,Sarfiah Dg Puji juga angkat suara. Ia menuding adanya potensi pelanggaran hukum dan kelalaian aparat pemerintah dalam proses perizinan proyek pembangunan tersebut.
“Kami menduga ada pembiaran sistematis oleh Dinas Pertanian, Dinas Pekerjaan Umum, serta Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (Perkimtan) Gowa. Seharusnya mereka menjadi garda terdepan dalam melindungi lahan-lahan produktif yang sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung dalam rencana tata ruang wilayah,” ujarnya.
Hal ini semakin menguat setelah terbitnya surat edaran resmi dari Menteri Pertanian Republik Indonesia, nomor B–193/SR.020/M/05/2025 tertanggal 16 Mei 2025. Dalam surat tersebut, Menteri Pertanian menegaskan bahwa:
“Bupati/Wali Kota dilarang menyetujui alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan Luas Baku Sawah (LBS) ke sektor non-pertanian. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi pidana hingga 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp1 miliar, sebagaimana diatur dalam UU No. 41 Tahun 2009 yang telah diperbarui dengan UU No. 6 Tahun 2023.”
Surat edaran tersebut juga menginstruksikan kepala daerah untuk memperkuat pengawasan, menerbitkan regulasi daerah yang melindungi LP2B dan LBS, serta memberikan insentif kepada petani dan aparat yang menjaga kelestarian lahan pertanian.
Merujuk pada edaran tersebut, Formasi Sulsel dan Inakor mendesak Bupati Gowa agar segera mengambil tindakan tegas, termasuk mencopot Kadis Pertanian, Kadis PU, dan Kadis Perkimtan yang dinilai telah lalai dan membiarkan alih fungsi lahan terjadi tanpa kontrol yang jelas.
“Kami meminta Bupati Gowa mencopot pejabat yang gagal menjalankan fungsinya dalam menjaga kepentingan publik. Jangan sampai kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil justru menghancurkan masa depan pertanian dan kelestarian lingkungan,” tambah Danial.
Kini, publik menanti langkah konkret dari Pemerintah Kabupaten Gowa. Di tengah krisis iklim global dan tantangan ketahanan pangan nasional, komitmen untuk melestarikan lahan pertanian bukan lagi sekadar pilihan, melainkan keharusan yang mendesak.
“Besar harapan kami agar Pemkab Gowa segera merespons secara serius persoalan alih fungsi lahan ini. Jika tidak ada tindakan yang nyata, bukan tidak mungkin akan muncul gelombang aksi demonstrasi sebagai bentuk penolakan dari masyarakat,” Pungkas Danial.