Surabaya, Kabartujuhsatu.news, Seorang guru penggerak dari salah satu SMP Negeri di wilayah Surabaya Utara mengaku kecewa setelah pengajuannya untuk mengikuti seleksi calon kepala sekolah ditolak oleh sistem SIMPKB (Sistem Informasi Manajemen Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan), meski telah mengantongi sertifikat resmi sebagai guru penggerak.
Penolakan tersebut terjadi karena guru tersebut belum pernah menjabat sebagai wakil kepala sekolah (wakasek) minimal selama dua tahun, salah satu syarat utama dalam sistem SIMPKB untuk mengikuti seleksi calon kepala sekolah.
“Saya sudah mendapatkan SK sebagai guru penggerak, tapi tetap gagal karena saya tidak punya SK jabatan wakil kepala sekolah selama minimal dua tahun,” ujarnya dengan nada kecewa kepada awak media pada Sabtu (31/5/2025).
Guru tersebut mengungkapkan kini dirinya sedang mengupayakan agar dapat diangkat sebagai staf manajerial terlebih dahulu dan kemudian menjadi wakil kepala sekolah di sekolahnya.
Harapannya, ketika rekrutmen calon kepala sekolah dibuka kembali, ia sudah memenuhi persyaratan.
“Saya sudah minta ke kepala sekolah agar bisa dijadikan staf, dan selanjutnya diangkat jadi wakil kepala sekolah. Supaya kalau ada rekrutmen lagi, saya bisa lolos,” tambahnya.
Namun, ia merasa heran ketika mengetahui ada rekannya sesama guru penggerak yang sudah lolos seleksi kepala sekolah meskipun baru menjabat sebagai wakasek selama enam bulan.
“Kok bisa ya, Mas? Wong saya saja saat memasukkan data ke sistem langsung ditolak. Nggak mungkin bisa, kecuali kalau SK-nya dimundurkan dua tahun. Baru bisa itu,” ujarnya, yang enggan disebutkan namanya dan hanya memperkenalkan diri sebagai Bu Zizah.
Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya, Yusuf Masruh, saat diminta konfirmasi terkait data guru yang kini menjabat sebagai Kepala SDN Manyar Sabrangan 2, enggan memberikan informasi lebih lanjut.
“Semoga guru tersebut sehat-sehat saja,” ujarnya singkat melalui sambungan telepon.
Ketidakjelasan proses seleksi ini memunculkan kecurigaan publik dan media terhadap dugaan kurangnya transparansi, integritas, dan profesionalisme dalam rekrutmen kepala sekolah di Kota Surabaya.
Muncul pula dugaan praktik kolusi, nepotisme, bahkan jual beli jabatan dalam proses tersebut.
(Redho)