Pasuruan, Kabartujuhsatu.news,– Menjawab tantangan dunia pendidikan yang semakin kompleks di era modern, SMP Muhammadiyah 4 Boarding School Porong (SMP Mudipat) terus melakukan pembaruan dan penguatan kualitas pendidikan.
Salah satu langkah strategis yang ditempuh adalah melalui pelaksanaan School Workshop yang digelar selama dua hari, 23–24 Desember 2025, bertempat di kawasan Prigen, Pasuruan.
Workshop yang diikuti oleh seluruh ustadz, ustadzah, serta karyawan sekolah ini mengusung tema besar “Future Classroom and Human Touch”, sebuah konsep pendidikan masa depan yang memadukan kemajuan teknologi dengan pendekatan kemanusiaan dan penguatan karakter.
Salah satu materi utama yang menjadi sorotan dalam kegiatan tersebut adalah Transformasi Disiplin Positif, yang disampaikan oleh Ibu Wulan Ari Handayani, S.Pd., M.Pd., seorang praktisi dan fasilitator pendidikan karakter nasional.
Disiplin Bukan Soal Hukuman, Tapi Kesadaran
Dalam pemaparannya, Ibu Wulan menekankan bahwa disiplin sejati tidak dibangun melalui rasa takut terhadap hukuman, melainkan melalui kesadaran internal peserta didik.
Ia menjelaskan perbedaan mendasar antara disiplin konvensional yang mengandalkan sistem reward and punishment dengan disiplin positif yang berfokus pada pembentukan kontrol diri dan tanggung jawab jangka panjang.
“Disiplin positif bertujuan menumbuhkan motivasi intrinsik. Anak berbuat baik bukan karena takut dihukum atau berharap hadiah, tetapi karena memahami nilai dan dampak dari setiap tindakannya,” jelasnya di hadapan para pendidik.
Menurutnya, dalam paradigma ini guru tidak lagi berperan sebagai “polisi kelas” atau “hakim” yang sibuk memberi sanksi, melainkan sebagai manajer karakter yang membimbing santri memahami kesalahan, merefleksikannya, dan menemukan solusi perbaikan secara mandiri.
Restitusi: Mengubah Kesalahan Menjadi Pembelajaran
Salah satu pendekatan penting yang diperkenalkan adalah restitusi, sebuah metode penyelesaian masalah perilaku yang berbeda dari hukuman konvensional. Jika hukuman sering kali tidak berkaitan langsung dengan kesalahan dan hanya melahirkan rasa takut atau dendam, restitusi justru mengajak santri berdialog dan merefleksikan tindakannya.
Dalam proses restitusi, santri diajak memahami perilakunya berdasarkan lima kebutuhan dasar manusia, seperti kebutuhan akan rasa aman, kasih sayang, pengakuan, kebebasan, dan kesenangan. Dengan demikian, kesalahan diposisikan sebagai peluang belajar, bukan sekadar pelanggaran yang harus dibalas dengan sanksi.
“Melalui restitusi, anak tidak berhenti pada rasa bersalah, tetapi sampai pada kesadaran dan keinginan untuk memperbaiki diri,” terang Ibu Wulan.
Keyakinan Kelas dan Bahasa Positif
Selain restitusi, para guru juga dibekali strategi menyusun Keyakinan Kelas, sebuah pendekatan yang menggantikan aturan-aturan kaku dengan nilai-nilai kebajikan universal yang disepakati bersama antara guru dan santri.
Nilai-nilai seperti rasa aman, saling menghormati, tanggung jawab, dan kejujuran menjadi fondasi budaya kelas. Pendekatan ini diperkuat dengan penggunaan bahasa positif, yang diyakini mampu menciptakan iklim belajar yang aman secara emosional serta meningkatkan keterlibatan dan kepercayaan diri santri.
Sejalan dengan Visi Pendidikan Pesantren
Kepala SMP Muhammadiyah 4 Boarding School Porong, Rozaq Akbar, menyampaikan bahwa transformasi disiplin positif ini sangat sejalan dengan visi pendidikan pesantren yang menekankan kesadaran nilai, bukan sekadar kepatuhan formal.
“Di Mudipat, kami tidak hanya mengajarkan anak tahu mana yang salah dan mana yang benar. Lebih dari itu, mereka dibimbing untuk memahami mengapa harus melakukan kebaikan dan mengapa harus menghindari kesalahan,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa santri tidak sekadar diminta menerima konsekuensi, tetapi diajak untuk memahami kesalahan, bertanggung jawab, dan memiliki kemauan kuat untuk memperbaiki diri.
“Inilah pendidikan karakter yang kami bangun. Bukan taat karena diawasi, tetapi sadar karena nilai itu sudah hidup dalam dirinya,” tegasnya.
Fondasi Future Classroom SMP Mudipat
Workshop ini sekaligus memperkuat tiga pilar utama pengembangan sekolah, yaitu Disiplin Positif, Penguatan Karakter Guru, dan Pembelajaran Kontekstual. Ketiganya menjadi fondasi dalam membangun future classroom SMP Mudipat, di mana teknologi dimanfaatkan sebagai alat pendukung pembelajaran, sementara sentuhan kemanusiaan tetap menjadi ruh utama pendidikan.
Langkah peningkatan kapasitas pendidik ini juga menjadi wujud tanggung jawab sekolah dalam menjaga kepercayaan masyarakat. Sebagai salah satu pesantren favorit dan unggulan di wilayah Sidoarjo, SMP Mudipat menyadari bahwa meningkatnya animo masyarakat harus diiringi dengan peningkatan kualitas layanan, sistem pendidikan, serta keteladanan para pendidik.
Dengan berakhirnya workshop di Prigen, SMP Muhammadiyah 4 Boarding School Porong menatap tahun 2026 dengan optimisme baru, menegaskan komitmennya untuk menghadirkan pendidikan yang utuh—memadukan ilmu pengetahuan, pembentukan karakter, dan sentuhan hati.
(Redho)



