Suta Widhya: Gerakan 212 yang Memasuki Usia ke-9 Kini Semakin Cerdas dan Matang
  • Jelajahi

    Copyright © kabartujuhsatu.news
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Layanan Publikasi Media Online : Iklan, Berita, Banner

    Layanan Publikasi Media Online : Iklan, Berita, Banner
    Klik Gambar Inaproc Kabartujuhsatu di Kolom Pencarian

    Daftar Blog Saya

    Suta Widhya: Gerakan 212 yang Memasuki Usia ke-9 Kini Semakin Cerdas dan Matang

    Kabartujuhsatu
    Senin, 01 Desember 2025, Desember 01, 2025 WIB Last Updated 2025-12-01T16:27:32Z
    masukkan script iklan disini


    Jakarta, Kabartujuhsatu.news, Sembilan tahun setelah gelombang aksi besar yang dikenal sebagai Gerakan 212, Sekretaris Jenderal Pembela Konstitusi dan Kebenaran (KP-K&K), Suta Widhya, S.H., kembali mengenang detik-detik awal terbentuknya gerakan tersebut.


    Ia menuturkan bahwa sebelum aksi massa terjadi, ada rangkaian diskusi dan kajian mendalam yang melibatkan tokoh-tokoh ormas, pakar hukum, serta ahli bahasa.


    Suta mengingat sebuah rapat penting yang digelar pada 7 Oktober 2016 di Markas Besar Front Pembela Islam (FPI) di kawasan KS. Tubun, Jakarta Pusat.


    Rapat tersebut dipimpin oleh Habib Rizieq Shihab (HRS), dan menjadi momentum awal penyusunan strategi menghadapi pernyataan Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang dianggap menyinggung Surah Al-Maidah ayat 51.


    “Sebagai praktisi hukum, saya mengusulkan bahwa selain ahli pidana, diperlukan juga ahli bahasa untuk mengkaji ucapan Ahok.


    "HRS setuju, dan dari rapat itu kemudian lahirlah Aksi 14 Oktober 2016,” ujar Suta pada Senin (1/12) di Jakarta.


    Aksi awal tersebut, yang disebut diikuti oleh sekitar 22.222 peserta, menurutnya sudah cukup memberikan sinyal bahwa pernyataan Ahok menjadi perhatian serius masyarakat Muslim.


    “Aksi itu menunjukkan bahwa Ahok tidak memiliki kompetensi untuk berbicara mengenai ayat suci agama dan keyakinan umat,” tegasnya.


    Suta menjelaskan bahwa puncak gerakan terjadi pada 2 Desember 2016, sebuah demonstrasi yang kemudian dikenal luas sebagai Aksi Bela Islam 212.


    Gerakan ini dipicu oleh dugaan penistaan agama oleh Ahok, yang pada saat itu merupakan gubernur yang baru saja melanjutkan sisa masa jabatan Joko Widodo hingga 2017.


    “Tujuan utama aksi ini jelas: menuntut penegakan hukum atas dugaan penistaan agama. Namun lebih besar dari itu, aksi ini menjadi simbol persatuan umat Islam di seluruh Indonesia,” ungkapnya.


    Aksi 212 berlangsung damai, tertib, dan menurut banyak pihak menjadi salah satu demonstrasi terbesar dalam sejarah Indonesia modern. Suta mengatakan bahwa berdasarkan ilustrasi yang ia buat, jumlah peserta aksi terus meningkat: dari 22.222 peserta pada 14 Oktober, kemudian 222.222 peserta pada aksi lanjutan 4 November (Aksi 411), hingga mencapai sekitar 2.222.222 peserta pada puncak aksi 2 Desember.



    “Ini kami gambarkan seperti bebek berentet, menunjukkan betapa tertib, rapih, dan terorganisirnya para peserta dalam menyampaikan aspirasi,” tuturnya.


    Menurut Suta, aksi 212 memiliki dampak signifikan terhadap dinamika politik nasional. Di antaranya:


    Penurunan Popularitas Ahok, yang kemudian berpengaruh pada kekalahannya di Pilkada DKI 2017 serta dijatuhkannya hukuman 2 tahun penjara.


    Meningkatnya konservatisme dan Islamisme, yang memperkuat identitas kelompok Muslim perkotaan.


    Polarisasi masyarakat, yang memperjelas garis batas antara preferensi politik dan identitas agama.


    Selain itu, gerakan 212 juga meninggalkan tradisi berupa Reuni 212, sebuah acara tahunan yang bertujuan memperingati momentum persatuan umat Islam sekaligus menyampaikan aspirasi sosial-keagamaan.


    Memasuki usia ke-9, Suta menilai bahwa para peserta gerakan kini semakin matang dalam membaca situasi politik dan sosial yang berkembang.


    “Umat Islam semakin cerdas dalam melihat fenomena alam maupun fenomena sosial. Kami berharap Reuni 212 tahun 2025 tetap berlangsung damai, tertib, dan melahirkan resolusi penting bagi bangsa,” ujarnya.


    Ia juga menegaskan bahwa sejak aksi pertama, peserta 212 dikenal menjaga kebersihan dan ketertiban.


    “Tidak ada sampah berarti usai aksi, karena panitia menyiapkan petugas kebersihan internal. Demonstrasi tidak merugikan lingkungan bila dilakukan dengan disiplin,” tutup Suta.


    (Red) 

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini