Kasus Perceraian Usai Pengangkatan PPPK Kembali Terjadi, Kini Muncul di Sukabumi
  • Jelajahi

    Copyright © kabartujuhsatu.news
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Layanan Publikasi Media Online : Iklan, Berita, Banner

    Layanan Publikasi Media Online : Iklan, Berita, Banner
    Klik Gambar Inaproc Kabartujuhsatu di Kolom Pencarian

    Daftar Blog Saya

    Kasus Perceraian Usai Pengangkatan PPPK Kembali Terjadi, Kini Muncul di Sukabumi

    Kabartujuhsatu
    Rabu, 17 Desember 2025, Desember 17, 2025 WIB Last Updated 2025-12-17T11:35:49Z
    masukkan script iklan disini

    Illustrasi


    Sukabumi, Kabartujuhsatu.news, Setelah publik dihebohkan dengan kisah JS, pria asal Aceh Singkil yang menceraikan istrinya tak lama setelah diangkat sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), kini muncul kasus serupa yang terjadi di Sukabumi, Jawa Barat.


    Peristiwa ini sontak mengundang perhatian warganet karena memiliki pola yang hampir sama dengan kasus sebelumnya yang sempat viral di media sosial.


    Dalam kasus di Sukabumi, seorang perempuan berinisial SS binti N dilaporkan diceraikan oleh suaminya, HIP, setelah sang suami memperoleh Surat Keputusan (SK) pengangkatan sebagai tenaga P3K di sebuah rumah sakit di Bandung, Jawa Barat.


    Padahal, pasangan tersebut telah menikah sejak tahun 2019 dan telah dikaruniai seorang putri.


    Bu Ade, paralegal dari Kantor Suta Widhya, SH dan Rekan yang berkantor di Jalan Cideng Barat Dalam No. 4A, Jakarta Pusat, mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah kejanggalan dalam proses perceraian tersebut.


    Hal itu disampaikan usai dirinya bertemu dengan salah satu jajaran manajemen puncak rumah sakit tempat HIP bekerja, pada Selasa malam (16/12) di Bandung.


    “Berdasarkan Surat Kuasa tertanggal 1 September 2025 yang didaftarkan ke Pengadilan Agama Sukabumi pada 3 September 2025, dalam posita gugatan disebutkan bahwa antara SS dan HIP telah melangsungkan pernikahan pada 12 Desember 2019 dan dikaruniai seorang putri bernama HLNS yang lahir pada 30 Desember 2020,” ujar Bu Ade.


    Menurut keterangan dalam gugatan, rumah tangga pasangan tersebut mulai diwarnai perselisihan sejak Januari 2024. Puncak pertengkaran disebut terjadi pada 4 Januari 2025, yang kemudian berujung pada perceraian.


    Namun, pihak SS menilai proses hukum yang berjalan tidak sesuai dengan prosedur yang semestinya.


    “Klien kami tidak pernah memberikan kuasa kepada siapa pun, termasuk kepada advokat berinisial R dan rekan-rekannya, untuk mengajukan gugatan cerai,” tegas Bu Ade.



    Ia juga mengungkapkan bahwa dalam berkas perkara telah disiapkan dua orang saksi, yakni AI Lilih binti Cicak (47) yang beralamat di Kampung Bojong Kidul, serta Aisah binti Maksum (51).


    Bu Ade menambahkan, pihaknya berencana menelusuri lebih dalam proses perceraian tersebut yang telah diputus pada 23 September 2025 oleh hakim tunggal Drs. Iskandar, M.H., dengan Panitera Pengganti Jenal Mutakin, S.Ag.


    Penelusuran ini dilakukan guna memastikan apakah terdapat unsur pelanggaran hukum atau dugaan rekayasa dalam proses persidangan.


    “Kami menduga kuat adanya rekayasa dalam proses perceraian ini. Oleh karena itu, kami menilai aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, memiliki kewenangan untuk mengungkap siapa pihak-pihak yang terlibat,” jelasnya.


    Bu Ade juga menyampaikan bahwa laporan resmi terkait dugaan rekayasa gugatan cerai tersebut telah disampaikan sejak Rabu (12/11). Namun hingga kini, belum ada kejelasan mengenai siapa pelaku yang bertanggung jawab atas proses hukum yang dinilai bermasalah tersebut.


    Kasus ini pun kembali memantik diskusi publik mengenai fenomena perceraian yang terjadi setelah salah satu pasangan memperoleh status dan kestabilan ekonomi melalui pengangkatan sebagai PPPK atau P3K.


    Banyak pihak berharap aparat hukum dapat mengusut tuntas perkara ini demi keadilan bagi pihak yang dirugikan.


    (Red) 

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini