Diduga Malpraktik Operasi Mata, Warga Surabaya Alami Kebutaan Permanen, Dokter Spesialis RSMM Jatim Dilaporkan ke Polda
  • Jelajahi

    Copyright © kabartujuhsatu.news
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Layanan Publikasi Media Online : Iklan, Berita, Banner

    Layanan Publikasi Media Online : Iklan, Berita, Banner
    Klik Gambar Inaproc Kabartujuhsatu di Kolom Pencarian

    Daftar Blog Saya

    Diduga Malpraktik Operasi Mata, Warga Surabaya Alami Kebutaan Permanen, Dokter Spesialis RSMM Jatim Dilaporkan ke Polda

    Kabartujuhsatu
    Jumat, 26 Desember 2025, Desember 26, 2025 WIB Last Updated 2025-12-27T02:48:12Z
    masukkan script iklan disini

    Illustrasi


    Surabaya, Kabartujuhsatu.news,  Nasib pilu dialami seorang warga Kota Surabaya bernama Alain Tandiwijaya (49). Alih-alih memperoleh kesembuhan, ia justru harus menerima kenyataan pahit kehilangan fungsi penglihatan secara permanen usai menjalani rangkaian tindakan medis di Rumah Sakit Mata Masyarakat (RSMM) Jawa Timur.


    Kasus ini kini memasuki ranah hukum setelah diduga kuat terjadi malpraktik dan kelalaian medis oleh oknum dokter spesialis mata.


    Setelah lima tahun berjuang mencari keadilan tanpa kejelasan, korban akhirnya mendapat pendampingan hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Rastra Justitia.


    Direktur LBH Rastra Justitia, Dr. Didi Sungkono, S.H., M.H., secara resmi melaporkan oknum dokter spesialis mata RSMM Jawa Timur ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jawa Timur, Jumat malam (26/12/2025).


    Laporan tersebut telah teregistrasi dengan nomor LP/B/1867/XII/2025/SPKT/POLDA JAWA TIMUR, tertanggal 26 Desember 2025.


    Dr. Didi Sungkono menjelaskan, peristiwa ini bermula pada Agustus 2020. Saat itu, korban menjalani operasi katarak yang dinyatakan berjalan sukses.


    Namun, pascaoperasi tersebut, korban kembali diyakinkan oleh dokter spesialis mata berinisial Dr. Pardana Dwiputra, Sp.M., untuk segera menjalani operasi lanjutan berupa penyambungan saraf mata.


    “Korban diyakinkan bahwa tindakan medis tersebut bersifat mendesak, tanpa risiko, dan dipastikan berhasil. Tidak ada penjelasan rinci mengenai potensi komplikasi atau dampak terburuk yang mungkin terjadi,” ungkap Didi kepada awak media di Mapolda Jatim.


    Namun, kenyataan berkata sebaliknya. Pascaoperasi lanjutan yang dilakukan pada 25 Agustus 2020, korban mengalami kondisi serius berupa pendarahan hebat pada mata, vertigo, hingga muntah-muntah. Seiring waktu, kondisi mata korban semakin memburuk, mengalami peradangan, menjadi juling, hingga akhirnya divonis mengalami Phthisis Bulbi, yakni kerusakan bola mata permanen yang menyebabkan kebutaan seumur hidup.


    Dugaan Pelanggaran Informed Consent


    Tim kuasa hukum menilai terdapat banyak kejanggalan dalam tindakan medis yang dilakukan. Salah satunya terkait tidak adanya diagnosis medis tertulis yang menjadi dasar operasi lanjutan tersebut.


    “Dalam dokumen medis korban, tidak ditemukan diagnosis autoimun sebagaimana alasan yang belakangan disampaikan pihak dokter. Korban juga tidak pernah menerima hasil pemeriksaan laboratorium apa pun terkait kondisi tersebut,” tegas Didi.


    Menurutnya, hal ini menunjukkan adanya dugaan pelanggaran serius terhadap hak pasien atas informasi atau informed consent. Risiko terburuk dari tindakan medis tidak pernah disampaikan secara jujur dan transparan kepada korban sebelum operasi dilakukan.


    Dugaan Pelanggaran Hukum


    Atas kejadian tersebut, tim hukum menilai oknum dokter dan pihak rumah sakit diduga melanggar sejumlah ketentuan hukum, di antaranya:


    Pasal 360 dan 361 KUHP, terkait kealpaan yang mengakibatkan luka berat atau cacat permanen, dengan pemberatan hukuman bagi tenaga profesional.


    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 193 dan Pasal 440, yang menegaskan tanggung jawab rumah sakit dan tenaga medis atas kerugian pasien akibat kelalaian.


    Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Praktik Kedokteran, terkait hak pasien untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan transparan sebelum tindakan medis dilakukan.


    Desakan Penegakan Hukum


    Dr. Didi Sungkono menegaskan pihaknya tidak akan tinggal diam melihat hak masyarakat kecil terabaikan. Ia menyebut rumah sakit seharusnya menjadi tempat penyembuhan, bukan justru meninggalkan luka dan penderitaan permanen.


    “Korban kehilangan penglihatannya seumur hidup. Ini bukan sekadar kelalaian kecil, tapi menyangkut masa depan seseorang. Kami menuntut pertanggungjawaban penuh, baik secara pidana maupun perdata,” tegasnya.


    Dengan diterbitkannya laporan polisi ini, pihak kuasa hukum mendesak penyidik Polda Jawa Timur untuk segera memanggil saksi-saksi, tenaga medis terkait, serta manajemen RSMM Jawa Timur guna mengusut kasus ini secara transparan dan objektif.


    Kasus ini diharapkan menjadi peringatan keras bagi dunia medis agar selalu menjunjung tinggi etika profesi, keselamatan pasien, dan prinsip transparansi, demi mencegah terulangnya tragedi serupa di masa mendatang.


    (Redho) 

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini