Soppeng, Kabartujuhsatu.news, Pelantikan sebanyak 3.507 Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu di Kabupaten Soppeng menjadi salah satu langkah administratif terbesar dalam sejarah penataan kepegawaian daerah Bumi Latemmamala.
Kebijakan ini tidak hanya membawa harapan baru bagi ribuan tenaga kerja non-ASN, tetapi juga memunculkan pertanyaan serius terkait ketahanan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam jangka menengah hingga panjang.
Berdasarkan perhitungan kasar kebutuhan belanja pegawai, anggaran yang harus disiapkan Pemerintah Kabupaten Soppeng untuk membiayai gaji PPPK Paruh Waktu diperkirakan mencapai sekitar Rp20 miliar per tahun.
Angka ini menjadikan kebijakan PPPK Paruh Waktu bukan lagi sekadar isu kepegawaian, melainkan persoalan ekonomi publik dan tata kelola fiskal daerah.
Secara regulasi, status PPPK Paruh Waktu memang dirancang berbeda dengan PPPK penuh. Namun dalam praktik pengelolaan keuangan daerah, tidak ada istilah “paruh waktu” dalam struktur belanja APBD. Yang tercatat hanyalah kewajiban pembayaran rutin yang harus dipenuhi setiap bulan dan setiap tahun anggaran.
Dengan jumlah mencapai ribuan orang, belanja gaji PPPK Paruh Waktu secara otomatis masuk dalam kategori belanja kaku (rigid expenditure), yakni belanja yang sulit dikurangi atau dialihkan dalam jangka pendek. Kondisi ini berimplikasi langsung pada menyempitnya ruang fiskal daerah.
Semakin besar porsi belanja rutin, semakin terbatas fleksibilitas pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran ke sektor-sektor strategis lain seperti: pembangunan infrastruktur dasar, peningkatan kualitas layanan kesehatan, penguatan sektor pendidikan, serta program pemberdayaan dan penguatan ekonomi masyarakat.
Secara konseptual, PPPK Paruh Waktu diposisikan sebagai kebijakan transisi dalam penataan tenaga non-ASN. Namun dalam perspektif ekonomi pemerintahan, sebuah kebijakan transisi hanya dapat dikatakan sehat apabila memiliki arah, tenggat waktu, dan tujuan akhir yang jelas.
Persoalan muncul ketika belum ada kejelasan:
kapan status paruh waktu akan berakhir,
bagaimana mekanisme seleksi atau pengangkatan lanjutan,
serta berapa lama APBD daerah harus menanggung beban fiskal tersebut.
Tanpa kepastian itu, kebijakan yang seharusnya bersifat sementara berisiko berubah menjadi beban struktural permanen.
Beban semacam ini sering kali sulit dikoreksi di kemudian hari karena sudah melekat dalam struktur belanja daerah.
Belanja sekitar Rp20 miliar per tahun untuk satu pos gaji tidak selalu menimbulkan dampak yang terasa langsung. Namun dalam jangka menengah, tekanan fiskal ini bekerja secara perlahan dan sistematis.
Dalam teori ekonomi publik, kondisi ini dikenal sebagai crowding out effect, yaitu situasi ketika belanja rutin pemerintah secara bertahap menggeser belanja pembangunan dan belanja produktif.
Dampaknya bukan berupa krisis instan, melainkan: tertundanya pembangunan infrastruktur, berkurangnya kualitas layanan publik, dan melambatnya pertumbuhan ekonomi daerah dalam jangka panjang.
Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan PPPK Paruh Waktu memberikan kepastian administratif dan rasa aman bagi ribuan tenaga kerja yang selama ini berada dalam posisi rentan. Dari sudut pandang sosial, kebijakan ini memiliki nilai penting.
Namun kebijakan publik yang baik dituntut untuk menjaga keseimbangan antara kepastian kerja dan kesehatan fiskal daerah.
APBD pada hakikatnya adalah kontrak ekonomi antara pemerintah dan masyarakat. Setiap rupiah yang dialokasikan seharusnya memberikan manfaat yang terukur, efisien, dan berkelanjutan.
Karena itu, evaluasi berkala terhadap efektivitas PPPK Paruh Waktu bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan mendesak dalam tata kelola keuangan daerah.
Arah Kebijakan ke Depan
Dalam kerangka ekonomi publik, setidaknya terdapat tiga opsi kebijakan rasional yang dapat dipertimbangkan Pemerintah Kabupaten Soppeng ke depan:
Menetapkan jalur yang jelas dan terukur menuju PPPK penuh, berbasis kinerja dan kebutuhan riil organisasi perangkat daerah.
Menata ulang skema pembiayaan, agar beban fiskal tidak sepenuhnya bertumpu pada APBD kabupaten.
Membatasi durasi kebijakan secara tegas, sehingga status paruh waktu benar-benar bersifat sementara dan tidak berkembang menjadi kewajiban permanen.
Ketiga opsi tersebut menuntut keberanian perencanaan, transparansi fiskal, serta konsistensi kebijakan lintas tahun anggaran.
Pelantikan 3.507 PPPK Paruh Waktu adalah realitas hari ini dan solusi jangka pendek bagi persoalan kepegawaian.
Namun ketahanan APBD Soppeng adalah pertaruhan jangka panjang. Dengan kebutuhan anggaran sekitar Rp20 miliar per tahun, pertanyaan tentang seberapa kuat APBD bertahan bukanlah sikap pesimistis, melainkan bentuk kehati-hatian fiskal.
Dalam ekonomi daerah, kebijakan yang baik bukan hanya yang mampu menjawab kebutuhan hari ini, tetapi juga yang sanggup menjaga keseimbangan antara kepastian sosial dan keberlanjutan anggaran di masa depan.
(Red)



