Soppeng, Kabartujuhsatu.news, Gelombang kritik terhadap kepemimpinan Bupati dan Wakil Bupati Soppeng, H. Suwardi Haseng - Selle KS Dalle (SUKSES), belakangan menjadi topik hangat di kalangan masyarakat dan media lokal.
Sebuah kritikan baru-baru ini menurunkan laporan yang menyoroti sejumlah isu strategis di pemerintahan daerah, mulai dari dinamika di tubuh Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), hubungan eksekutif-legislatif, perlakuan terhadap insan media, hingga arah pembangunan yang dianggap terlalu berorientasi pada proyek fisik.
Dalam laporan tersebut, muncul kritik tajam yang menilai adanya ketidakharmonisan antar unsur Forkopimda dan renggangnya hubungan antara eksekutif dan legislatif di Kabupaten Soppeng.
Selain itu, arah pembangunan daerah juga disebut terlalu berat pada proyek-proyek infrastruktur yang dinilai belum sepenuhnya menjawab kebutuhan sosial masyarakat.
Namun, pandangan ini tidak dibiarkan bergulir tanpa tanggapan. Seorang pengamat kebijakan publik dari Makassar, Imran Mahmud, angkat bicara dan menyerukan pentingnya masyarakat untuk lebih bijak dalam menilai dan menyampaikan kritik terhadap pemerintah daerah.
“Kritik itu penting, bahkan sangat dibutuhkan dalam sistem demokrasi. Tapi kita perlu membedakan antara kritik yang berbasis substansi faktual dengan yang lahir dari emosi atau kepentingan sesaat,” ujar Imran dalam keterangannya, Jumat (8/11/2025).
Menurut Imran, setiap kritik seharusnya dibangun atas dasar data, fakta, dan indikator kinerja nyata agar dapat menjadi masukan yang konstruktif bagi pemerintah.
Ia menilai, terlalu banyak opini publik yang berkembang tanpa verifikasi data yang memadai, sehingga berpotensi menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat.
“Ketika kritik hanya bersumber dari ‘cerita warung kopi’ atau asumsi pribadi tanpa basis data, maka nilai konstruktifnya menjadi rendah. Sebaliknya, jika kritik disertai bukti dan analisis rasional, justru akan membantu pemerintah memperbaiki diri,” tambahnya.
Imran mencontohkan, untuk menilai apakah Pemkab Soppeng terlalu fokus pada proyek fisik, pengkritik semestinya dapat menyajikan data perbandingan antara belanja modal dan belanja sosial atau pegawai dalam APBD dua tahun terakhir.
Dengan cara ini, kritik dapat diarahkan secara objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Lebih jauh, terkait isu sinergi antar lembaga, seperti dugaan renggangnya hubungan Forkopimda dan DPRD, Imran menilai bahwa persoalan itu harus diukur berdasarkan produktivitas kebijakan dan efektivitas pemerintahan, bukan semata persepsi.
“Apakah Raperda mandek? Apakah koordinasi pengamanan daerah terganggu? Kalau program dan kebijakan tetap berjalan efektif, maka dinamika internal adalah hal yang wajar dalam politik lokal, bukan tanda kegagalan kepemimpinan,” tegasnya.
Pengamat tersebut juga mengingatkan agar pemerintah daerah tidak bersikap alergi terhadap kritik. Sebaliknya, kritik harus dijadikan bahan evaluasi untuk memperkuat transparansi dan kepercayaan publik.
“Kritik yang sehat bisa menjadi cermin bagi pemerintah untuk memperbaiki kinerja. Tetapi pemerintah juga berhak menjelaskan fakta agar publik mendapatkan gambaran yang utuh,” ujarnya menutup.
Isu kepemimpinan di Kabupaten Soppeng ini menunjukkan bahwa dinamika politik dan pemerintahan daerah masih sangat bergantung pada keseimbangan komunikasi publik dan transparansi data.
Kritik yang disampaikan dengan dasar faktual dapat menjadi bahan introspeksi, sementara reaksi emosional tanpa data justru bisa memicu polarisasi.
Pada akhirnya, baik pemerintah maupun masyarakat diharapkan dapat menempatkan kritik pada jalur yang tepat: bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk membangun.
(Red)





