Wajo, Pemerintah Kabupaten Wajo kembali menjadi sorotan setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan menemukan sejumlah kejanggalan dalam pelaksanaan anggaran belanja hibah Tahun Anggaran (TA) 2024 pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud).
Temuan tersebut tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Wajo, yang kini menimbulkan sejumlah pertanyaan terkait kepatuhan administrasi dan tata kelola keuangan.
Kelebihan Realisasi Anggaran hingga Mencapai 129,35 Persen
Dalam dokumen DPA Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, anggaran belanja hibah tahun 2024 tercatat sebesar Rp9,09 miliar. Namun, realisasinya justru tembus hingga Rp11,76 miliar, atau 129,35 persen dari pagu, sehingga melebihi anggaran sebesar Rp2,73 miliar.
Kelebihan tersebut terutama terjadi pada hibah Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) PAUD dan Pendidikan Kesetaraan, yang semula dialokasikan Rp4,52 miliar tetapi direalisasikan hingga Rp7,24 miliar.
BPK menyebut akar persoalan berada pada tidak diperbaruinya data RKAS pada aplikasi ARKAS, serta tidak dilakukannya penyesuaian dalam APBD Perubahan 2024.
Temuan ini menimbulkan pertanyaan hukum terkait dasar pelaksanaan hibah yang melampaui pagu anggaran.
Sejumlah pihak mempertanyakan:
Apa dasar hukum Dinas merealisasikan anggaran melebihi pagu DPA?
Apakah revisi anggaran pernah diajukan sesuai Permendagri 77 Tahun 2020?
Bagaimana langkah koreksi agar tidak terjadi pelanggaran administrasi di kemudian hari?
Hibah Tanpa SK Bupati: Bertentangan dengan Perbup Nomor 10 Tahun 2021
Temuan lain yang disorot BPK adalah proses pemberian hibah barang senilai Rp2,029 miliar kepada sekolah swasta yang dilakukan berdasarkan SK Kepala Dinas, bukan SK Bupati sebagaimana diwajibkan regulasi.
Peraturan Bupati Wajo Nomor 10 Tahun 2021 Pasal 22 ayat (1) menegaskan bahwa penetapan penerima dan besaran hibah harus ditetapkan melalui keputusan Bupati.
Sementara Permendagri 77 Tahun 2020 juga menyatakan bahwa hibah harus didasarkan pada keputusan kepala daerah dan tertuang dalam NPHD.
Tidak hanya itu, BPK juga menemukan adanya selisih Rp117,5 juta antara nilai hibah yang terealisasi dan yang tercantum dalam NPHD.
Hal ini menimbulkan pertanyaan:
Mengapa bukan SK Bupati yang digunakan?
Apakah ada pendelegasian kewenangan dari Bupati kepada Kepala Dinas?
Mengapa NPHD ditandatangani tanpa otorisasi kepala daerah?
Selisih Nilai Hibah dan Penambahan Komponen Tanpa Dasar Dokumen
BPK juga mencatat adanya realisasi hibah yang lebih besar dibandingkan nilai dalam NPHD karena tambahan biaya perencanaan, pengawasan, dan administrasi yang tidak tercantum dalam dokumen.
Pertanyaan yang muncul:
Benarkah ada komponen tambahan tersebut?
Apakah penambahan disetujui Bupati atau TAPD?
Bagaimana pencatatan dan pertanggungjawaban atas selisih itu?
Rekomendasi BPK dan Harapan Perbaikan Tata Kelola
Dalam rekomendasinya, BPK meminta Dinas Pendidikan untuk:
Menyesuaikan realisasi hibah sesuai pagu anggaran sah,
Menata mekanisme penganggaran hibah sesuai Permendagri 77/2020,
Menetapkan penerima hibah melalui SK Bupati.
Publik kini menunggu klarifikasi dari pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Wajo mengenai langkah-langkah tindak lanjut yang telah atau akan dilakukan.
Transparansi diperlukan agar pengelolaan belanja hibah ke depan berjalan sesuai prinsip akuntabilitas dan kepatuhan regulasi.
Hingga berita ini diterbitkan, Redaksi masih berusaha mengkonfirmasi pihak terkait.
(Red)/AMR)



