Rusaknya Etika Anggota DPRD
  • Jelajahi

    Copyright © kabartujuhsatu.news
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Layanan Publikasi Media Online : Iklan, Berita, Banner

    Layanan Publikasi Media Online : Iklan, Berita, Banner
    Klik Gambar Inaproc Kabartujuhsatu di Kolom Pencarian

    Daftar Blog Saya

    Rusaknya Etika Anggota DPRD

    Kabartujuhsatu
    Sabtu, 20 September 2025, September 20, 2025 WIB Last Updated 2025-09-21T04:38:02Z
    masukkan script iklan disini

    Oleh : Rusdianto Sudirman
    Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare

    Dalam sepekan terakhir, publik kembali diguncang oleh ulah tidak pantas para wakil rakyat di daerah. Di Gorontalo, beredar luas video viral seorang anggota DPRD yang dengan enteng menyatakan keinginannya untuk merampas uang negara.

    Sementara di Soppeng, seorang anggota DPRD berinisial HK diduga tertangkap basah berselingkuh oleh istri dan anaknya sendiri. 

    Dua peristiwa ini tidak hanya menimbulkan kehebohan, tetapi juga menelanjangi rapuhnya standar etika politik di lembaga legislatif daerah.

    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah institusi yang memegang mandat rakyat. Konstitusi memberi mereka fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran. 

    Namun, ketika anggota dewan justru mempertontonkan sikap serampangan, vulgar, bahkan amoral, mandat itu tercabik. 

    Rakyat yang menitipkan harapan untuk diperjuangkan kepentingannya, justru dipaksa menyaksikan tontonan yang merusak kepercayaan publik.

    Pernyataan anggota DPRD Gorontalo dalam video yang menyebut keinginannya merampas uang negara adalah puncak dari arogansi kekuasaan. 

    Kata-kata itu bukan sekadar candaan. Ia mencerminkan mentalitas predator: memandang jabatan politik sebagai jalan pintas untuk memperkaya diri, bukan sebagai amanah rakyat.

    Di sisi lain, kasus dugaan perselingkuhan anggota DPRD Soppeng HK memperlihatkan sisi gelap lain: runtuhnya integritas personal. 

    Skandal rumah tangga memang kerap dipandang sebagai urusan privat, namun bagi seorang pejabat publik, moralitas pribadi tidak bisa dilepaskan dari etika jabatan.

    Anggota dewan bukan sekadar pribadi, ia adalah representasi negara di mata rakyat. 

    Ketika yang bersangkutan mempertontonkan perilaku amoral, apalagi disaksikan keluarganya sendiri, kehormatan lembaga ikut tercederai.

    Kedua kasus ini mempertebal kesan bahwa DPRD di banyak daerah sedang kehilangan arah. Alih-alih menjadi ruang deliberasi politik yang bermartabat, ia justru menjelma panggung dagelan, tempat anggota dewan berlomba mencari sensasi, kuasa, dan keuntungan.

    Apa yang tampak dalam kasus Gorontalo dan Soppeng bukanlah kebetulan. Ia adalah gejala sistemik: rendahnya standar etika politik dalam rekrutmen dan pembinaan kader partai. 

    Partai politik lebih sibuk menghitung modal finansial kandidat ketimbang rekam jejak integritasnya. Akibatnya, banyak orang dengan mentalitas transaksional duduk di kursi parlemen daerah.

    Etika politik seharusnya menjadi fondasi utama dalam kerja legislasi. Max Weber pernah menegaskan, politik bukan sekadar soal kekuasaan, melainkan soal tanggung jawab. 

    Dalam perspektif hukum tata negara, anggota DPRD terikat tidak hanya oleh sumpah jabatan, tetapi juga kode etik yang diatur dalam tata tertib masing-masing dewan. Jika mereka melanggar, mekanisme sanksi seharusnya otomatis berjalan.

    Namun faktanya, Badan Kehormatan (BK) DPRD sering kali tumpul. Alih-alih bersikap tegas, BK kerap terjebak dalam kompromi politik. 

    Sanksi hanya dijatuhkan sebatas peringatan atau teguran tertulis, tanpa efek jera. Celah inilah yang membuat banyak anggota DPRD bertindak ugal-ugalan, karena yakin konsekuensi etik tidak sebanding dengan keuntungan politik dan finansial yang diperoleh.


    Menurut penulis dua peristiwa terbaru ini harus menjadi momentum bagi Badan Kehormatan DPRD, baik di Gorontalo maupun Soppeng, untuk unjuk taring. 

    BK harus menempatkan diri sebagai penjaga marwah lembaga, bukan sekadar stempel administratif. 

    Ada beberapa langkah mendesak yang bisa ditempuh. Pertama
    Pemanggilan dan Pemeriksaan Terbuka.

    BK harus segera memanggil anggota DPRD yang terlibat dalam kasus ini untuk diperiksa secara transparan. 

    Proses ini penting tidak hanya demi kepastian hukum, tetapi juga sebagai pesan moral bahwa setiap pelanggaran etika akan direspons serius.

    Kedua, Penerapan Sanksi Maksimal. Jika terbukti, anggota DPRD Gorontalo yang menyatakan ingin merampas uang negara pantas dijatuhi sanksi berat, minimal pemberhentian dari jabatan alat kelengkapan dewan, bahkan bisa berujung pada pemberhentian tetap. 

    Begitu pula dengan anggota DPRD Soppeng, perilaku amoral di ruang privat yang berdampak pada citra lembaga harus ditindak dengan sanksi etik keras.

    Ketiga, Dorongan Perbaikan Tata Kelola Partai Politik. BK juga harus merekomendasikan kepada partai pengusung agar meninjau ulang keberadaan kader bermasalah. 

    Partai tidak boleh melindungi kader yang jelas-jelas mencoreng wajah politik lokal.

    Keempat, Pendidikan Etika Politik Berkelanjutan. DPRD di semua daerah perlu menginstitusionalisasi pendidikan etika politik bagi anggotanya. 

    Kode etik bukan sekadar teks di atas kertas, melainkan harus ditanamkan sebagai habitus dalam keseharian.

    Jika DPRD gagal menegakkan disiplin etika, lembaga ini akan kehilangan legitimasi di mata rakyat. 

    Krisis kepercayaan terhadap parlemen daerah adalah ancaman serius bagi demokrasi lokal. 

    Masyarakat akan semakin apatis terhadap proses politik, merasa suaranya sia-sia karena diwakili orang-orang yang tidak pantas.

    Tanggung jawab untuk memperbaiki kerusakan ini tidak bisa ditunda. DPRD bukanlah panggung hiburan yang dipenuhi skandal dan dagelan, melainkan ruang mulia untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. 

    Badan Kehormatan harus bertindak sekarang, atau bersiaplah menerima vonis publik: DPRD adalah rumah rusaknya etika politik.

    Soppeng (21/9/2025). 
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini