Sorotan Hukum, Dugaan Pelecehan Profesi Wartawan di Media Sosial
  • Jelajahi

    Copyright © kabartujuhsatu.news
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Layanan Publikasi Media Online : Iklan, Berita, Banner

    Layanan Publikasi Media Online : Iklan, Berita, Banner
    Klik Gambar Inaproc Kabartujuhsatu di Kolom Pencarian

    Daftar Blog Saya

    Sorotan Hukum, Dugaan Pelecehan Profesi Wartawan di Media Sosial

    Kabartujuhsatu
    Jumat, 30 Mei 2025, Mei 30, 2025 WIB Last Updated 2025-05-30T16:21:12Z
    masukkan script iklan disini


    Soppeng, Kabartujuhsatu.news, Kasus yang terjadi di Kabupaten Soppeng membuka kembali diskursus tentang tanggung jawab hukum atas ujaran di ruang digital, khususnya ketika komentar dianggap melecehkan profesi tertentu. Jum'at (30/5/2025). 

    Dalam hal ini, dua warganet dilaporkan karena komentarnya dinilai menghina profesi wartawan.

    Landasan Hukum:

    Pelaporan ini berpotensi merujuk pada beberapa pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), di antaranya:

    Pasal 27 ayat (3) UU ITE: tentang pencemaran nama baik dan/atau penghinaan melalui media elektronik.

    Pasal 28 ayat (2): jika komentar dinilai memicu kebencian terhadap kelompok tertentu, dalam hal ini profesi wartawan.

    Pasal 310 dan 311 KUHP: pencemaran nama baik dan fitnah juga bisa menjadi dasar tambahan dalam pelaporan.

    Perlindungan Profesi Wartawan:

    Profesi wartawan memiliki peran vital dalam demokrasi, dan keberadaannya dilindungi oleh:

    UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang mengamanatkan kebebasan pers dan perlindungan terhadap jurnalis dalam menjalankan tugasnya secara profesional dan independen.

    Komentar yang merendahkan integritas wartawan, apalagi jika tanpa dasar fakta, bisa dikategorikan sebagai upaya merusak reputasi profesi yang dilindungi undang-undang.

    Catatan Penting:

    Kebebasan berpendapat di media sosial bukan berarti tanpa batas. Ketika opini berujung pada penghinaan atau tudingan tak berdasar, maka pelakunya bisa dimintai pertanggungjawaban hukum.

    Literasi digital sangat diperlukan agar masyarakat memahami batas antara kritik yang sah dan ujaran yang berpotensi melanggar hukum.

    ANALISIS YURIDIS: Dugaan Pelecehan Profesi Wartawan Melalui Media Sosial

    1. Objek Masalah
    Komentar dua akun Facebook (“Syahrul Stewar” dan “Ade El”) diduga mengandung unsur penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap profesi wartawan. Komentar tersebut disampaikan di ruang publik (media sosial), dan dinilai menyinggung martabat serta integritas profesi jurnalis.

    2. Peraturan Perundang-undangan Terkait
    a. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016:
    Pasal 27 ayat (3):

    "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."

    → Unsur yang harus dibuktikan:

    Ada distribusi /transmisi/membuat dapat diakses. 

    Mengandung muatan penghinaan/pencemaran nama baik. 

    Dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak. 

    Pasal 45 ayat (3):

    Ancaman pidana paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta

    b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
    Pasal 310 KUHP:

    Tentang pencemaran nama baik secara lisan atau tulisan.

    Pasal 315 KUHP:

    Tentang penghinaan ringan terhadap seseorang secara terbuka.

    c. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers:
    Pasal 8:

    Menjamin bahwa pers nasional mendapat perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya.

    Pasal 18 ayat (1):

    Ancaman pidana bagi siapa pun yang menghambat atau menghalangi kerja pers.

    3. Konstruksi Hukum:
    Komentar bernada menghina yang menyebut wartawan "akun fake", "tidak jelas", "kurang kerjaan", dan "minta uang kopi", dapat dikonstruksikan sebagai bentuk penghinaan profesi secara kolektif.

    Meskipun tidak menyebut nama langsung, frasa tersebut diarahkan ke wartawan tertentu dan profesi secara umum, sehingga dapat dianggap memenuhi unsur subjektif dan objektif dari pencemaran nama baik.

    Jika terbukti, pelaku dapat dikenai pertanggungjawaban pidana berdasarkan UU ITE dan/atau KUHP.

    4. Aspek Delik Aduan
    Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan absolut, artinya harus ada laporan langsung dari pihak yang merasa dirugikan. Dalam hal ini, wartawan yang merasa dilecehkan berhak mengajukan laporan polisi.

    5. Rekomendasi Hukum
    Penyidik Polres Soppeng perlu melakukan klarifikasi terhadap kedua akun untuk menentukan niat dan konteks komentar.

    Mediation (restorative justice) bisa menjadi alternatif jika kedua pihak bersedia berdamai, kecuali terdapat unsur kebencian atau penghinaan berat yang tidak dapat ditoleransi secara sosial.

    Kesimpulan:
    Komentar dua akun media sosial tersebut memiliki potensi untuk diproses secara hukum berdasarkan UU ITE dan KUHP jika terbukti memenuhi unsur penghinaan atau pencemaran nama baik terhadap profesi wartawan. 

    Kasus ini sekaligus menjadi preseden penting dalam membangun kesadaran literasi digital dan etika bermedia sosial.


    Perspektif Etik Pers: Menjaga Martabat Profesi di Era Digital

    1. Etika Jurnalistik dan Martabat Profesi

    Wartawan memegang peran strategis sebagai penjaga informasi publik, sehingga integritas dan kepercayaan terhadap profesi sangat penting. Berdasarkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang disusun oleh Dewan Pers, terdapat prinsip-prinsip fundamental:

    Pasal 1 KEJ: “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.”

    Pasal 2 KEJ: “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.”

    Ketika profesi ini dihina secara terbuka di media sosial, bahkan dituduh bekerja untuk "uang kopi", maka tuduhan tersebut bukan sekadar menyasar individu, tetapi mencoreng kode etik dan nilai kerja jurnalistik yang sah secara hukum dan moral.

    2. Dampak Etis atas Pelecehan Profesi

    Komentar publik yang melecehkan profesi jurnalis dapat berdampak sebagai berikut:

    Merosotnya kepercayaan publik terhadap informasi yang disajikan media.

    Terganggunya semangat kerja jurnalis, khususnya yang bekerja di lapangan dengan tantangan langsung.

    Terbentuknya stigma negatif bahwa wartawan hanya mencari uang dari berita, bukan berjuang atas dasar kepentingan publik.

    Hal ini bisa mengarah pada degradasi moral terhadap profesi pers, yang sangat bertentangan dengan semangat kebebasan pers dan demokrasi.

    3. Tanggung Jawab Moral Pers
    Dalam menyikapi komentar yang melecehkan, jurnalis harus tetap memegang prinsip etik:

    Tidak membalas dengan ujaran kebencian.

    Menggunakan saluran hukum secara sah, seperti yang dilakukan oleh Muh Idham Ashari, adalah langkah etik yang menunjukkan profesionalitas.

    Mengedukasi publik tentang kerja-kerja jurnalistik yang sesungguhnya, untuk meminimalkan kesalahpahaman.

    4. Peran Dewan Pers dan Organisasi Profesi
    Dewan Pers dan organisasi seperti AJI (Aliansi Jurnalis Independen) atau PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) perlu aktif:

    Mengadvokasi kasus serupa.

    Mengadakan literasi publik tentang kerja jurnalistik dan etika media.

    Membuka ruang dialog antara jurnalis dan masyarakat untuk membangun saling pengertian.

    Kesimpulan:
    Dari perspektif etik pers, pelecehan terhadap wartawan bukan hanya persoalan pribadi atau hukum, tetapi merupakan penghinaan terhadap nilai, misi, dan etika profesi jurnalisme itu sendiri. Tindakan hukum adalah salah satu bentuk pemulihan martabat, namun edukasi publik dan keteladanan etik dari wartawan sendiri adalah solusi jangka panjang dalam menjaga kehormatan profesi.

    (Red) 
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini