Perekat Nusantara Sebut Vonis Ringan Terdakwa Kasus Pembakaran Rumah dan Masjid Ahmadiyah Tak Beri Efek Jera
  • Jelajahi

    Copyright © kabartujuhsatu.news
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Daftar Blog Saya

    Perekat Nusantara Sebut Vonis Ringan Terdakwa Kasus Pembakaran Rumah dan Masjid Ahmadiyah Tak Beri Efek Jera

    Kabartujuhsatu
    Senin, 17 Januari 2022, Januari 17, 2022 WIB Last Updated 2022-01-17T16:25:23Z
    masukkan script iklan disini
    Petrus Selestinus Kordinator Pergerakan Advokat Nusantara (Ist).

    Jakarta, Kabartujuhsatu.news, - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pontianak (PN), Kalimantan Barat, Kamis (13/01/2022) telah menjatuhkan Vonis terhadap seorang terdakwa dalam kasus perusakan Masjid Miftahul. 

    Diketahui tempat ibadah ini dibangun kelompok umat Muslim Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempuak, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat dengan vonis yang sangat ringan.

    Sebelumnya, Kamis (06/01/2022) Majelis Hakim PN Pontianak, telah membacakan Vonis pertama, kepada 22 terdakwa. Yang mana menggunakan pasal Dakwaan melanggar pasal 160 KUHP bagi 3 orang terdakwa tentang kejahatan menghasut. 

    Sedangkan 19 terdakwa lainnya divonis dengan pidana melanggar pasal 170 ayat(1) KUHP, yaitu melakukan kekerasan secara bersama-sama terhadap orang atau barang.

    Vonis hakim ini mendapat perhatian dan kritik dari pengamat hukum Petrus Selestinus Kordinator Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara), Senin (17/01/2022) di Jakarta.

    Kata Petrus, sangat mengherankan dari proses hukum pada peristiwa pidana yang didominasi oleh tindakan kekerasan atas dasar SARA. 

    Termasuk mengganggu posisi negara sebagai penjamin kemerdekaan bagi tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing.

    "Mereka (red-terdakwa) hanya dikenakan pasal Tindak Pidana biasa yaitu pasal 160 dan pasal 170 ayat (1) KUHP dengan vonis ringan hanya 4 bulan 15 hari pidana penjara, Ini jauh dari rasa keadilan masyarakat dan tidak memberi efek jera apapun bagi pelaku," kritik Petrus.

    Padahal kata dia, sebagai sebuah lembaga Peradilan yang berpijak pada UUD' 1945, maka Penyidik Polisi, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim sudah seharusnya mengkonstruksi kasus pengrusakan Masjid Miftahul Huda dan pembakaran rumah warga Komunitas Muslim Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, di Kecamatan Tempuak, Kabupaten Sintang. Dimana harus dinilai sebagai peristiwa pidana atau kejahatan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).

    "Dasar hukumnya ada dalam ketentuan UU No 40 Tahun 2008,Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU No 39 Tahun 1999, Tentang HAM dan pasal 82A jo pasal 59 ayat (3) UU No 16 Tahun 2017 Tentang Ormas di samping pasal 160 dan pasal 170 ayat (1) KUHP. 

    Jadi beberapa Ormas sesungguhnya telah melakukan tindakan yang menjadi wewenang aparat Penegak Hukum dalam kejahatan yang dikualifikasi sebagai kejahatan SARA," jelasnya.

    Menurut Petrus, proses penyidikan dan penuntutan yang syarat kompromi bahkan konspiratif, telah merendahkan wibawa hukum, kedaulatan negara dan prinsip negara hukum. 

    Sebab kata dia, dalam peristiwa pidana atau kejahatan SARA, mereka mengkonstruksikan menjadi peristiwa pidana biasa dengan menerap-kan pasal sangkaan dan dakwaan melanggar pasal 160 dan pasal 170 ayat (1) KUHP demi mengabaikan kejahatan SARA dan HAM. 

    "Ini jelas merupakan sebuah model konspirasi dalam penegakan hukum dengan menerapkan pasal-pasal yang tidak ada korelasinya dengan substansi peristiwa pidana. 

    Padahal yang terjadi yaitu adanya tindakan permusuhan oleh sekelompok Orang atau Ormas terhadap sekelompok masyarakat lainnya atas dasar suku, agama, ras atau golongan secara brutal dan sewenang-wenang dengan mengambialih wewenang penegak hukum," tutur Petrus.

    SEJUMLAH UU HANYA JADI PAJANGAN

    Petrus juga menjabarkan, bahwa tindakan sekelompok masyarakat (Ormas) yang merusak bangunan, mengancam keselamatan nyawa manusia.  

    Bahkan secara hukum meniadakan hak atas kebebasan komunitas Muslim Ahmadiyah dalam menjalankan Ibadah agama dan kepercayaannya.

    "Seharusnya kepada mereka diperhadapkan dengan ancaman pidana berat, seperti dimaksud dalam pasal 82A UU No 16 Tahun 2017 Tentang Ormas, berupa pidana penjara maksimum 20 (dua puluh) tahun, UU No 39, Tahun 1999, Tentang HAM dan UU No 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis," terangnya.


    Dalam kasus ini, aparat penegak hukum seolah-olah alergi dan gamang ketika berhadapan dengan kasus-kasus SARA, sehingga dalam penegakan hukumnya nampak memberi angin segar kepada kelompok pelaku, berupa penerapan pasal pidana biasa, yang dituntut dan divonis dengan pidana ringan, dengan mengabaikan pasal pelanggaran UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU HAM, UU Ormas dan UU Penodaan Agama.

    "Vonis ringan kasus kekerasan atas sekelompok Masyarakat atas nama agama terhadap kelompok Masyarakat yang berbeda keyakinan keagamaan (minoritas) atau kasus-kasus penodaan agama terhadap agama minoritas, dengan vonis penjara ringan dalam kasus Terdakwa Yahya Waloni dan kasus Masjid Ahmadiyah Sintang.

    Hal ini memperlihatkan betapa negara belum bersikap adil dan bijaksana pada kelompok agama minoritas," tandasnya.

    NEGARA INGKARI KOMITMEN

    Menurut Petrus, negara justru berada dalam posisi mengingkari komitmennya, dimana negara baru bisa menjamin kebebasan warga negaranya untuk memeluk agama dan kepercayaannya. 

    Akan tetapi negara belum bisa memberikan jaminan atas kemerdekaan untuk menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannyaannya itu, seperti pada kejahatan persekusi, intoleransi dan tindakan vigilante masih terus terjadi terhadap kelompok agama minoritas.

    "Padahal konstitusionalitas jaminan atas kebebasan unuk memeluk agama dan kepercayaan itu setara dengan jaminan atas kemerdekaan melaksanakan ibadah agama dan kepercayaannya itu. 

    Tidak ada gunanya jika negara hanya menjamin warganya untuk bebas memeluk agama dan kepercayaan, tetapi negara abai memberikan jaminan kemerdekaan bagi warganya untuk menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya itu," urainya panjang lebar.

    Kata dia, Pasal 29 UUD' 45 ayat (2) menyatakan, bahwa : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayannya itu.

    "Penjatuhan hukuman yang jauh dari rasa keadilan publik terutama para korban dalam kasus SARA, merupakan pertanda buruk dimana sejumlah aparatur di dalam Lembaga Peradilan (Penyidik Polisi, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim) diduga telah terpapar ideologi intoleran dan radikal," sesalnya.

    Terakhir katanya, indikatornya ada sikap memihak dan toleran para hakim terhadap pelaku kejahatan SARA, Intoleran dan Vigilante selama proses hukum.

    "Buktinya vonis ringan pelaku Kejahatan SARA di Sintang dan Kejahatan Ujaran Kebencian terhadap terdakwa Yahya Waloni yang hanya divonis 5 (lima) bulan penjara," pungkasnya. (red)

    Penulis: RB. Syafrudin Budiman SIP
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini