Izin PT DMC Lenyap dari MODI Minerba, Setelah Tambang Disegel Polisi
  • Jelajahi

    Copyright © kabartujuhsatu.news
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Daftar Blog Saya

    Izin PT DMC Lenyap dari MODI Minerba, Setelah Tambang Disegel Polisi

    Kabartujuhsatu
    Kamis, 01 Juli 2021, Juli 01, 2021 WIB Last Updated 2021-07-02T04:51:47Z
    masukkan script iklan disini

    Jakarta, Kabartujuhsatu.news, - Usai tambang batu bara milik PT Damai Mitra Cendana (DMC) yang diduga bodong disegel oleh Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Bareskrim Polri) sekitar, Sabtu 26/5/2021).

    Kabar terbaru, izin beraktivitas dan beroperasi PT DMC diketahui sudah di drop (dihapus) dari dashboard Minerba One Data Indonesia (MODI) milik Kementerian ESDM. MODI adalah aplikasi untuk menampilkan informasi umum kegiatan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.

    Didropnya nama PT DMC ini bisa dicek langsung di laman/situs link https://modi.minerba.esdm.go.id/portal/dataPerusahaan dengan mengetik nama perusahaan bersangkutan. Saat form nama perusahaan diketik PT Damai Mitra Cendana (DMC), dan di search/cari, hasilnya no results found (tidak ada hasil).

    Dari penelusuran tersebut dan saat dikonfirmasi ke bagian Minerba ESDM, bila ada fakta semacam itu, maka besar kemungkinan izin yang bersangkutan dalam hal ini PT DMC sudah didrop atau dihapus dari MODI Minerba.


    Lenyapnya nama PT tersebut di MODI Minerba tentu saja menjadi buah bibir di kalangan penambang Tanah Air.
    Sikap tegas ini menunjukkan bahwa aparat penegak hukum dan tentunya institusi di Kementerian ESDM tidak pandang bulu dalam mengganyang pengusaha nakal yang bekerja tanpa izin resmi.

    "Top, ketegasan aparat ini yang kita tunggu. Masak pemilik tambang resmi tidak bisa bekerja (eksplorasi), sementara penambang nakal dan liar ugal-ugalan menggunakan izin terbang untuk menambang tanah orang lain. Jelas ini tidak adil," ungkap salah satu penambang di Kalsel kepada media ini.

    Seperti dikutip dari tambang.co.id, tambang milik PT DMC berlokasi di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan (Kalsel).

    Informasi tersebut dikonfirmasi oleh sumber di Kepolisian Resor Kabupaten Banjar.

    “Ya benar, tim kami ada yang ikut turun membantu memasang plang segel dari Bareskrim Polri,” ujarnya saat dihubungi tambang.co.id, Sabtu (26/06/2021).


    Berdasarkan pantauan di lapangan, plang tersebut menyebutkan tambang milik Damai Mitra sedang dalam penyelidikan Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri.

    Sebelumnya, masalah tambang bodong ini awalnya muncul dalam rapat kerja di Komisi 3 DPR RI dengan Kapolri. Wakil Ketua Komisi dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Pangeran Khairul Saleh mencurigai ada sindikat di lingkaran Kementerian ESDM yang menerbitkan 20 izin palsu di Kalsel, salah satunya PT Damai Mitra Cendana.

    “Ada indikasi sindikat, karena tiba-tiba ada 20 izin di Kalsel yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM,” ujarnya.

    Dalam kesempatan yang sama, Kapolri Jenderal Listyo Sigit menyanggupi akan mengecek asal-usul permasalahan tersebut. Ia bakal menelusuri pihak-pihak terkait di balik penerbitan izin yang diduga bodong itu.

    “Kami akan proses dan cek bagaimana asal-usulnya sehingga (izin) bisa keluar,” tegasnya.

    Direktur Tipiter Bareskrim Polri

    Permasalahan pertambangan yang kian kompleks akhir-akhir ini ternyata pemicunya bukan berasal dari pusat melainkan dari daerah. Akibatnya hal itu, marak terjadi pertambangan ilegal (illegal minning) atau keluarnya perizinan yang ilegal, dan lain-lain.

    Sebelumnya hal itu terungkap dalam acara Webinar Nasional yang diselenggarakan oleh Kaukus Muda Indonesia (KMI) bertema “Evaluasi Sektor Pertambangan di tengah Maraknya Illegal Mining”, Kamis (24/6/2021).

    Pihak yang membeberkan hal ini adalah Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Bareskrim Polri, Brigjen Pol Pipit Rismanto. Pipit menegaskan, sektor pertambangan di Indonesia memiliki banyak masalah kompleks, yang seharusnya pada masa pandemi Covid-19 sektor ini memberikan kontribusi bagi perekonomian.

    “Dari permasalahan pertambangan yang berhasil diinventarisir oleh kepolisian, permasalahan lebih banyak pada soal tata kelola yaitu penerbitan izin diawal,” tegas jenderal bintang satu ini.

    Menurut dia dalam menentukan tata ruang juga sering terjadi permasalahan, yang seharusnya diperlukan kompetensi-kompetensi tertentu agar tidak terjadi pelanggaran. Inilah sebagian permasalahan-permasalahan yang ditemukan kepolisian setelah dilakukan pemeriksaan dan penyidikan.

    Lebih lanjut dikatakan, akibat kondisi tersebut, penegakan hukum yang ada dikatakan lembek, dan lemah. Padahal, apa yang wajib ditanyakan adalah proses penerbitan izin itu sendiri.

    “Kita tidak bisa menyalahkan proses penegakan hukum yang lemah saja, namun yang perlu dipertanyakan juga soal proses penerbitan izin pertambangan. Di daerah misalnya, seharusnya praktek penambangan diawali adanya rekomendasi teknis dari pemerintah setempat, namun hal ini tidak dilakukan. Endingnya yang disalahkan adalah penegak hukum,” tegasnya.




    Pipit menambahkan, terkait penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri mengalami transformasi yang awalnya mengejar keadilan retributif juga harus mengejar keadilan yang restoratif. Polri menganggap penegakan hukum sebagai alternatif terakhir.

    Sementara itu dari penelusuran di lapangan dan informasi yang diterima menyebutkan, aktivitas penambangan ilegal di Kaltim, ternyata melibatkan sejumlah pihak yang diduga kuat menjadi mata rantai mafia Illegal minning.

    Perputaran uangnya pun terbilang besar, termasuk di dalamnya perputaran uang untuk biaya koordinasi.

    Sebagai informasi praktik penambangan lapangan di Kaltim saja. Di sana selama sebulan mampu mengangkut batu bara setidaknya 94 tongkang.

    Jika diperinci perhitungannya sebagai berikut, satu tongkang batu bara itu volumenya mencapai 7.500 ton. Produksi selama sebulan mencapai 94 tongkang.

    Sehingga jika dikalikan 7.500 ton dikalikan 94 tongkang, totalnya 705.000 ton/bulan.

    Lalu, perhitungan biaya koordinasi, biaya ini dikeluarkan untuk membiayai pengeluaran selama proses produksi sampai pengiriman.

    Lalu berapa ongkos yang dikeluarkan untuk membiayai koordinasi 705.000 ton batu bara ini?

    Jawabnya demikian, aturan yang berlaku di lapangan terungkap, biaya koordinasi yang dikeluarkan untuk mengeluarkan batu bara pertonnya Rp 80.000. Jika jumlah produksi totalnya 705.000 ton, maka total biaya koordinasi untuk mengeluarkan 705.000 ton mencapai sekitar Rp 56 miliar.

    Informasi lain yang dihimpun menyebutkan, mereka mampu menguasai penambangan di Kaltim mulai dari koridor Kutai Kartanegara, Samarinda, Bontang hingga Paser.

    Bahkan, para mafia ini tak tanggung-tanggung royalnya dalam mengeluarkan uang untuk biaya pengurusan perizinan, hingga biaya keamanan bernilai sampai puluhan miliar rupiah perbulan untuk biaya koordinasi.

    Sehingga dampak yang ditimbulkan tidak hanya kerusakan lingkungan akibat penambangan liar. Tapi kerugian yang dialami negara yakni nihilnya penerimaan pendapatan negara dari royalti, serta pajak yang tidak disetorkan yang nilainya fantastis.

    Nah, berikut nama yang diduga kuat terlibat dalam mafia tambang ilegal di Kaltim.

    Di antaranya, Welly Thomas dari PT Sumber Global Energy (PT SGE), Petrus dari PT Limas Tunggal, Alif (anak Tony Kasogi).

    Perempuan dari Surabaya, Jatim, bernama Tan Paulin (ratu koridor), istri Irwantono Sentosa, pasangan suami-istri pemilik dari PT Sentosa Laju Energy.
    Lalu Ismail Bolong (anggota polisi aktif), dan kelompok Peter.

    Nama lainnya diduga adalah Regina dan Mathew. Keduanya merupakan pasangan suami istri, pengusaha tambang batu bara asal Surabaya. Wilayah operasi pertambangan di Kalsel dan Kaltim yang biasa memakai dokumen terbang juga tidak lepas diback-up oleh oknum aparat. (red)

    Editor: RB. Syafrudin Budiman SIP
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini