Eksistensi Jurnalis Sebagai Profesi
  • Jelajahi

    Copyright © kabartujuhsatu.news
    Best Viral Premium Blogger Templates


    Daftar Blog Saya

    Eksistensi Jurnalis Sebagai Profesi

    Kabartujuhsatu
    Rabu, 30 Juni 2021, Juni 30, 2021 WIB Last Updated 2021-06-30T10:27:28Z
    masukkan script iklan disini

    Herwan,SH,M.Si Ketua Jurnalis Online Indonesia Kabupaten Soppeng (Ist).

    Kabartujuhsatu.news,- Seiring berkembangnya teknologi, kebutuhan manusia akan informasi akan semakin meningkat. Hal tersebut berdampak pada menjamurnya perusahaan media massa yang muncul di Indonesia apalagi setelah era orde baru tumbang. Pada tahun 1999 pemerintah menerbitkan UU Pers tentang kebebasan pers, menyebabkan munculnya 600 perusahaan media massa baru namun akibat persaingan yang ketat hingga saat ini hanya sekitar 60 perusahaan media massa yang bertahan.


    Persaingan yang ketat tampaknya membuat beberapa pemilik media mengahalalkan segala cara. Banyak media massa terutama koran yang menerbitkan karya jurnalistik yang tidak sesuai dengan aturan yang telah disepakati dalam kode etik jurnalistik. Kita ambil contoh pemberitaan koran 'lampu merah'. Kadang-kadang pada koran tersebut, berita yang ditampilkan menggunakan kata-kata yang vulgar dan pihak korban, hal tersebut tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik pada Bab II pasal 8 yang berbunyi “Wartawan Indonesia dalam pengungkapan kejahatan susila (asusila) tidak merugikan pihak korban.”

    Selain menghadapi tantangan dari berbagai pihak yang menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan dari pembaca, perusahaan media massa juga mengahadapi tantangan baru yaitu media baru atau internet. Keterbatasan kemampuan perusahaan media cetak dalam melawan waktu untuk membuat informasi menjadi kendala tersendiri. Wakil direktur Jawa Pos Azrul Ananda, pernah mengatakan dalam tulisannya dalam koran 'Jawa Pos', bahwa media cetak lambat tidak akan terkalahkan oleh media internet. Hal tersebut dikarenakan suatu informasi disebarkan melalui internet, maka penduduk yang berada di daerah-daerah terpencilpun dapat mengaksesnya asalkan ada jaringannya. Sedangkan koran baru dapat didistribusikan kedaerah tersebut setelah 1 hari.


    Mudahnya orang untuk melakukan Citizen jurnalism dan mulai dilupakan kode etik jurnalistik oleh media kelas 'kacung' menimbulkan sebuah pertanyaan, masih layakkah jurnalis disebut sebagai profesi?


    Jurnalisme Warga dan Jurnalis Media Massa


    Dalam sehari seorang jurnalis profesional di suatu media massa dikejar batas pengumpulan berita yang jumlahnya bukan 1 berita. Bisa jadi seorang jurnalis mendapat target menulis 5 berita dalam satu hari. Keterbatasan waktu dan tenaga membuat para jurnalis media massa kini hanya mengandalkan dirinya sendiri untuk menulis berita. Mereka kini juga dapat memanfaatkan bantuan informasi dari masyarakat atau sering disebut dengan istilah Citizen jurnalism. Terkadang memanfaatkan karya jurnalistik dari kegiatan Citizen jurnalism untuk menjadi sumber informasi dalam menulis berita.


    Kegiatan Citizen jurnalism juga menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat untuk saling bertukar informasi dan membahas suatu hal yang sedang menjadi isu utama di kalangan masyarakat. Akan tetapi keberadaan jurnalisme warga menjadi permasalahan tersendiri. Hal tersebut dikarenakan dari sang penulis dipertanyakan. Penulisan dalam kegiatan Citizen jurnalism sering kali dilakukan orang yang berkompeten bahkan menyadur ulang karya jurnalistik pihak lain.


    Hal inilah yang membedakan jurnalis profesional dengan jurnalisme warga. Menurut UU. 40 Tahun 1999 Bab 1 Pasal 1 poin 4 wartawan dinyatakan sebagai “orang yang secara teratur melakukan kegiatan jurnalistik”. Berbeda dengan Citizen jurnalism yang belum tentu dapat menerbitkan karya jurnalistiknya secara teratur. Kegiatan Citizen jurnalism yang dilakukan saat sang penulis sedang senggang.


    Hal lebih signifikan membedakan jurnalis dengan jurnalisme warga terletak pada kode etik yang dimiliki jurnalis. Kode etik jurnalistik memberikan batasan-batasan jelas apa yang harus dilakukan dan dihindari dalam melakukan pekerjaan. Sedangkan dalam Citizen jurnalism tidak ada batasan apa yang boleh dan tidak ditampilkan dalam karya jurnalistik dari sang penulis.


    Selain itu, dalam Citizen jurnalism seorang yang melakukan kegiatan ini tidak perlu mengikuti pendidikan jurnalis terlebih dahulu. Sehingga sangat dimungkinkan sang penulis tidak mengetahui etika dan tidak mengetahui tentang yang akan ditimbulkan oleh tulisan yang efeknya olehnya. memastikan hal ini membuat informasi yang dicapai dalam kegiatan jurnalisme warga negara bias.


    Kode Etik dan Implementasinya

    Kode etik tentunya tidak dibuat tanpa maksud, Suhrawadi Lubis menyatakan ada lima tujuan kode etik disusun antara lain :


    1.Standar-standar etika, yang menjelaskan dan menetapkan tanggung jawab kepada lembaga dan masyarakat umum.



    2.Membantu para profesional dalam menentukan apa yang harus mereka perbuat dalam mengahadapi dilema pekerjaan mereka.


    3.Standar etika bertujuan untuk menjaga reputasi atau nama para profesional.


    4.Untuk menjaga kelakuan dan integritas para tenaga profesi.


    5.Standar etika juga merupakan pencerminan dan serial dari komunitasnya, yang menjamin pelaksanaan kode etik tersebut dalamnya.

    Dapat dikatakan bahwa kode etik jurnalistik dibuat untuk menetapkan standar etika profesi jurnalis sebagai bentuk tanggung jawab dan tindakan yang diambil dalam melaksanakan pekerjaan, sehingga integritas dan reputasi dari jurnalis tetap terjaga.


    Scott M. Cutlip menegaskan pentingnya kode etik dalam empat syarat suatu hal dapat dikatakan sebagai profesi, antara lain :


    1. Pendidikan Khusus untuk mendapatkan pengetahuan dan keahlian yang unik.


    2. Pengakuan oleh komunitas akan pelayanan yang unik dan penting.


    3. Otonomi dalam praktik dan penerimaan tanggung jawab personal oleh praktisi.


    4. Kode etik dan standar kerja yang diberlakukan oleh asosiasi profesi yang mengatur diri sendiri.


    Dalam pelaksanaannya sering terdapat banyak pelanggaran yang dilakukan oleh jurnalis sendiri. Mulai dari jurnalis yang meminta uang, memutar balikkan fakta, bersifat fitnah, dan cabul (asusila) dalam kegiatan jurnalistiknya. Hal tersebut terjadi akibat kurangnya pemahaman tentang fungsi tanggung jawab sosial kepada masyarakat yang terangkum dalam kode etik jurnalistik. Padahal dengan adanya kode etik jurnalistik, masyarakat dapat menuntut jurnalis yang melanggar kode etiknya, karena kode etik dibuat untuk melindungi publik dari kemungkinan tindakan merugikan dari orang yang berprofesi.


    Masihkah Jurnalis Menjadi Sebuah Profesi?


    Cutlip telah menegaskan bahwa salah satu syarat penting suatu hal dikatan profesi adalah adanya kode etik yang mengatur standar etika yang menjelaskan dan menegaskan tanggung jawab dari profesi tersebut kepada masyarakat. Jadi jika ada yang bertanya apakah jurnalis tetaplah menjadi sebuah profesi? Jawabnya ya! Namun jika ada orang yang melakukan kegiatan jurnalistik tapi melanggar kode etik jurnalistik, apakah ia tetap dapat disebut sebagai seorang jurnalis?.


    Jawabannya tentu tidak! karena orang tersebut telah melecehkan intregritas dan reputasi dari profesi jurnalis. Jurnalis mengemban tugas sebagai pilar keempat, jika ada orang yang mengaku jurnalis tapi melanggar kode etik jurnalistik berarti ia telah melecehkan sistem demokrasi di Indonesia. Pastinya orang seperti itu tak pantas disebut sebagai jurnalis, tapi seorang kriminal. (Ff)

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini