Pangkep, Kabartujuhsatu.news, Kasus dugaan korupsi dana hibah penyelenggaraan Pilkada 2024 di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan, terus memasuki babak baru.
Kejaksaan Negeri Pangkep menetapkan tiga pejabat Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat sebagai tersangka, masing-masing Ketua berinisial I, Sekretaris AS, dan Komisioner M.
Mereka diduga terlibat dalam penyelewengan anggaran hibah dengan nilai kerugian negara mencapai Rp554 juta.
Penetapan tersangka ini dilakukan setelah penyidik menemukan adanya dugaan persekongkolan dalam proses pengadaan barang dan jasa untuk keperluan penyelenggaraan Pilkada 2024, termasuk pembuatan Alat Peraga Kampanye (APK), kegiatan launching Pilkada, hingga debat kandidat.
Ahli Hukum Kajian Korupsi dan pengembang Sudut Pandang Hukum Postkolonial Indonesia, Mappasessu, S.H., M.H., menilai perkara ini mengungkap persoalan serius dalam tata kelola birokrasi pemilu.
Menurutnya, dugaan keterlibatan Ketua dan Komisioner dalam pengambilan keputusan pengadaan menunjukkan adanya penyimpangan struktural.
“Individu yang tidak berwenang justru mengambil peran penentu. Ketua I dan Komisioner M diduga memilih penyedia, padahal tugas tersebut secara normatif berada di PPK atau Sekretariat,” ujarnya. Selasa (2/12/2025).
Ia menjelaskan, proses e-Processing yang dilakukan Sekretaris AS hanya menjadi kedok administratif untuk menyamarkan negosiasi harga yang sebenarnya sudah ditentukan secara informal.
Praktik tersebut, kata dia, mencerminkan lemahnya integritas aparatur dalam menjalankan aturan.
Mappasessu menilai kasus ini tidak bisa dilepaskan dari warisan mentalitas kolonial dalam birokrasi modern Indonesia.
Meski regulasi antikorupsi seperti UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2021 sudah tegas, penerapannya masih jauh dari ideal.
“Ini cerminan gap besar antara hukum sebagai das sollen dan hukum sebagai das sein. Secara formal hukum kita modern, tetapi perilaku birokrasi masih terjebak pola patron-klien,” tegasnya.
Ia juga menyoroti dugaan adanya permintaan fee 10 persen dari penyedia untuk berbagai kegiatan Pilkada.
Menurutnya, praktik ini menunjukkan kemerosotan etika publik dan penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi.
Korupsi dana hibah Pilkada disebut memiliki dampak yang lebih luas ketimbang sekadar kerugian keuangan negara.
Dana hibah, menurut Mappasessu, merupakan instrumen vital untuk memastikan penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil.
“Ketika penyelenggara utama justru menggerogoti dana itu, yang rusak bukan hanya anggaran, tetapi juga integritas demokrasi lokal,” katanya.
Kejaksaan Negeri Pangkep menjerat para tersangka dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, yang menekankan unsur kerugian negara serta penyalahgunaan kewenangan.
Mappasessu menilai langkah Kejaksaan sudah tepat dari sisi penegakan hukum formal. Namun ia menegaskan bahwa penindakan saja tidak cukup.
Ia berharap kasus ini menjadi momentum refleksi kolektif untuk menghapus mentalitas koruptif yang masih bercokol dalam tubuh birokrasi.
“Tantangannya adalah bagaimana kasus ini dapat menjadi pemicu perubahan, agar budaya penyalahgunaan wewenang yang berakar dari birokrasi lama bisa benar-benar dihilangkan,” ujarnya.
Kasus ini kini memasuki tahap pendalaman lanjutan. Kejaksaan memastikan proses penanganan dilakukan transparan guna mengembalikan kepercayaan publik Pangkep terhadap penyelenggaraan Pilkada.
(Red)



