Banda Aceh, Kabartujuhsatu.news, Di tengah suasana duka akibat bencana banjir bandang yang melanda Aceh dan sekitarnya, muncul gelombang reaksi tajam atas konten di media sosial yang dinilai menghina martabat Aceh. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Yahdi Hasan, menyerukan agar tindakan penghinaan tersebut tidak dibiarkan begitu saja dan mendukung langkah hukum yang ditempuh organisasi masyarakat.
Insiden itu bermula dari unggahan di akun TikTok Widiadagelanpolitikreal yang memuat kata-kata tidak senonoh dan dianggap melecehkan Aceh. Konten yang viral itu memicu kemarahan masyarakat di berbagai daerah, terutama di tengah solidaritas nasional terhadap korban bencana alam.
Ketua umum Persaudaraan Aceh Seranto (PAS), Akhyar Kamil, telah resmi melaporkan dugaan penghinaan itu ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia di Jakarta. Menurut Akhyar, langkah hukum bukan semata mengejar sensasi, melainkan bentuk pembelaan terhadap marwah dan kehormatan Aceh serta untuk menjaga perasaan kolektif masyarakat yang tengah berduka.
Yahdi Hasan menyatakan dukungan penuh atas langkah hukum tersebut. Ia menyayangkan keberadaan narasi yang justru menyakitkan di saat empati dan solidaritas terhadap korban bencana justru mengalir deras dari dalam dan luar negeri. “Aceh berduka, Aceh lon sayang,” kata Yahdi menggambarkan suasana batin masyarakat Aceh pada masa sulit ini
Menurut Yahdi, Aceh adalah komunitas beradab dengan sejarah panjang dan harga diri yang harus dihormati. Ia menegaskan agar ruang publik khususnya media sosial dipakai dengan etika dan empati, bukan untuk merendahkan atau meremehkan martabat suatu daerah, terlebih ketika bangsa tengah menghadapi cobaan bersama.
Langkah hukum yang didukung Yahdi juga menjadi peringatan bagi semua pihak agar kebebasan berekspresi di dunia digital dibarengi dengan rasa hormat dan tanggung jawab. “Penggunaan media sosial perlu dibatasi oleh etika dan rasa saling menghormati,” ujarnya.
Kasus ini menjadi sorotan baru atas tantangan penggunaan media sosial di Indonesia: ketika kebebasan berpendapat bertemu dengan batasan penghormatan terhadap simbol, identitas, dan kehormatan kolektif masyarakat terutama di masa krisis kemanusiaan.



