Banda Aceh, Kabartujuhsatu.news, Ketidakpastian kebijakan publik dan penggunaan alasan syariat yang dinilai tidak konsisten disebut menjadi faktor utama menurunnya iklim industri kreatif di Aceh.
Sejumlah pelaku usaha di sektor ini menilai, pembatalan berbagai acara berskala besar dalam beberapa tahun terakhir bukan sekadar masalah teknis, melainkan bentuk penyalahgunaan wewenang dan lemahnya tata kelola pemerintahan daerah.
CEO PT Erol Perkasa Mandiri, Steffy Burase, mengungkapkan bahwa pola pembatalan mendadak dan perubahan aturan yang terjadi berulang kali merugikan seluruh penyelenggara acara di Aceh, baik di sektor musik, festival budaya, maupun kegiatan komersial lainnya.
“Bukan hanya satu EO yang mengalami ini. Hampir semua acara berskala nasional selalu berakhir dengan hambatan administratif, perubahan aturan mendadak, atau alasan syariat yang sebenarnya sudah dinyatakan ‘lolos’ oleh Dinas Syariat Islam dan MPU.
Sementara itu, konser-konser lokal yang tidak mengikuti tata aturan justru dibiarkan berlangsung,” ujar Steffy kepada media, Jumat (8/11).
Menurut Steffy, banyak pembatalan yang dilakukan bukan karena pelanggaran syariat, tetapi melalui mekanisme administratif yang tidak transparan.
“Ada yang lapangannya digembok di hari-H, ada yang diberikan tagihan retribusi dengan angka yang tidak rasional, ada yang izin sudah lengkap tetapi tetap diberhentikan. Situasi seperti ini membuat EO mana pun tidak bisa bekerja dengan kepastian,” katanya.
Ia menegaskan bahwa kasus yang dialami pihaknya merupakan contoh nyata maladministrasi.
“Dalam kasus kami, alasan syariat tidak bisa dipakai karena seluruh persyaratan keagamaan sudah lolos sejak awal. Yang muncul justru tagihan tidak masuk akal dan tindakan penggembokan venue. Ini bukan persoalan syariat, ini masalah tata kelola,” tegasnya.
Steffy menjelaskan bahwa kondisi ini berdampak besar terhadap perekonomian lokal.
“Setiap acara besar melibatkan ratusan pekerja, vendor, UMKM, kru lokal, talent, dan pelaku usaha lainnya. Ketika acara besar selalu dihambat, ekonomi Aceh kehilangan perputaran uang miliaran rupiah,” ujarnya.
Ia juga mengungkapkan adanya tren baru di mana masyarakat Aceh memilih bepergian ke luar daerah untuk menikmati hiburan.
“Lebih dari seribu warga Aceh tercatat bepergian ke luar provinsi untuk menghadiri konser nasional. Ini bukti bahwa kebutuhan masyarakat tetap ada, hanya saja tidak bisa dipenuhi di Aceh karena kebijakan yang tidak konsisten,” katanya.
Data dari penyelenggara WJP menunjukkan sedikitnya 1.052 warga Aceh menghadiri konser di luar provinsi. Dengan pendekatan konservatif dalam studi dampak pariwisata (economic leakage), nilai belanja yang tidak berputar di Aceh diperkirakan mencapai Rp1,58–3,68 miliar hanya dari satu event. “Ini baru satu contoh; pola serupa terjadi berulang,” tulis laporan tersebut.
Steffy menegaskan, perjuangan para pelaku industri kreatif bukanlah untuk mencari kebebasan tanpa batas, melainkan menuntut aturan yang konsisten, adil, dan berbasis kajian.
“Kalau aturan berubah-ubah tergantung siapa penyelenggaranya, itu bukan lagi syariat dan bukan lagi administrasi, itu ketidakadilan. Suara yang kami bawa adalah suara ratusan pelaku industri kreatif Aceh yang ingin bekerja dengan tenang, transparan, dan profesional,” ucapnya.
Ia menutup dengan seruan agar pemerintah Aceh membuka ruang dialog terbuka dengan pelaku industri kreatif.
“Kami hanya meminta pemerintah membuat standar yang jelas, adil, dan tidak semena-mena. Kalau ingin menjaga syariat, lakukan dengan konsisten.
"Kalau ingin menegakkan aturan, lakukan dengan prosedur yang benar. Yang diperlukan rakyat Aceh hari ini adalah kepastian, bukan larangan yang berubah-ubah,” tutupnya.
(MHM)





