Mandailing Natal, Kabartujuhsatu.news, Dunia kesehatan di Mandailing Natal kembali diguncang. Kali ini, Rumah Sakit Umum (RSU) Permata Madina diduga melakukan sejumlah pelanggaran terhadap hak-hak tenaga kerja.
Seorang mantan Kepala Bidang berinisial AH melaporkan manajemen rumah sakit ke Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Mandailing Natal atas tindakan pemberhentian sepihak tanpa prosedur hukum yang sah.
Menurut pengakuan AH, ia tidak menerima tunjangan jabatan senilai Rp2 juta per bulan selama empat bulan berturut-turut dari Januari hingga April 2025.
Tak hanya itu, pada 7 Mei 2025, ia diberhentikan secara lisan tanpa surat resmi PHK dan tanpa melalui mekanisme pemanggilan atau klarifikasi, yang jelas-jelas bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), alih daya, waktu kerja dan waktu istirahat, serta PHK.
“Pemberhentian saya dilakukan secara sepihak, tanpa prosedur yang sah. Hak-hak saya sebagai pekerja dilanggar secara terang-terangan,” ujar AH kepada media. Senin (14/7/2025).
AH melayangkan pengaduan ke Disnaker pada 22 April 2025. Mediasi sempat dilakukan pada 16 Mei, namun menurut AH, pihak rumah sakit tidak menjalankan hasil kesepakatan.
Karena ketidakpatuhan berulang, Disnaker Kabupaten akhirnya melimpahkan kasus ini ke Disnaker Provinsi Sumatera Utara pada Juli 2025.
Tak hanya persoalan PHK, AH juga menyampaikan bahwa status kepesertaan BPJS Ketenagakerjaannya dinonaktifkan secara sepihak oleh pihak rumah sakit, padahal secara hukum hubungan kerja belum dinyatakan berakhir oleh Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
“Ini bukan hanya pelanggaran administratif, tapi bentuk pengingkaran terhadap hak dasar pekerja atas jaminan sosial,” tegas AH.
Investigasi lebih lanjut mengungkap bahwa beberapa mantan karyawan lainnya mengaku menerima kontrak kerja yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Beberapa tenaga kesehatan bahkan diduga menerima upah di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) Mandailing Natal.
“Bagaimana mungkin tenaga kesehatan bisa bekerja maksimal jika hak-haknya diinjak-injak? Ini bukan kasus tunggal, tapi sistemik,” ujar salah satu narasumber yang meminta identitasnya disembunyikan.
Melalui media ini, AH mendesak pemerintah daerah, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Kesehatan untuk turun tangan.
Ia juga mengajak organisasi profesi, lembaga bantuan hukum, dan masyarakat sipil untuk mengawal proses hukum dan memastikan pelanggaran terhadap hak tenaga kerja tidak terus berulang.
“Yang saya perjuangkan bukan hanya hak pribadi, tapi juga keadilan dan perlindungan bagi semua pekerja sektor kesehatan di Indonesia,” pungkasnya.
Editor: Magrifatulloh