Surabaya, Kabartujuhsatu.news, Surabaya, sebagai kota metropolitan dengan geliat industri dan budaya yang terus tumbuh, menyimpan potensi besar dalam pengembangan seni. Namun, di balik semangat kreatif para pegiat seni, masih terdapat tantangan nyata dalam membangun ekosistem yang mendukung keberlanjutan dunia kesenian. Rabu (9/7/2025).
Ketersediaan ruang seni dan fasilitas pendukung di kota ini masih tergolong terbatas. Gedung Cak Durasim, House of Sampoerna, dan Balai Pemuda memang menjadi titik penting aktivitas seni, namun akses terhadap tempat-tempat ini kerap kali terhambat oleh kendala administratif dan biaya yang tinggi.
Tak sedikit seniman muda harus memutar otak agar tetap bisa berkarya di tengah segala keterbatasan itu.
Beruntung, masih ada ruang seperti Galeri DKS dan Galeri Merah Putih di kompleks Balai Pemuda, yang menjadi nafas segar bagi seniman visual.
Bahkan, Galeri Merah Putih telah membuat program tahunan pameran lukisan yang memberikan panggung bagi para pelukis lokal.
Selain itu, Galeri Prabangkara di Taman Budaya Jawa Timur juga masih aktif memberi ruang bagi aktivitas kesenian.
Namun, tantangan tak berhenti di soal ruang. Dukungan pendanaan dari pemerintah yang terbatas dan hanya diberikan kepada lembaga yang telah memiliki Surat Keputusan (SK) Wali Kota, membuat sanggar-sanggar seni yang selama ini menjadi tulang punggung ekosistem budaya, terancam mati perlahan.
Mereka harus terus berjuang secara swadaya atau berharap pada sponsor yang tidak selalu hadir secara konsisten.
Melihat kondisi ini, Forum Pegiat Kesenian Surabaya (FPKS) merasa perlu untuk mengangkat isu ini secara lebih serius.
Melalui program bertajuk Membangun Ekosistem Seni yang Sehat, FPKS mengajak semua pihak untuk menyadari pentingnya kolaborasi lintas sektor: seniman, komunitas, galeri, audiens, kolektor, hingga pemerintah sebagai regulator dan fasilitator.
Pemerintah kota diharapkan lebih aktif membuka ruang-ruang seni publik yang inklusif, serta menyediakan skema pendanaan yang transparan dan kompetitif, misalnya melalui hibah atau kemitraan dengan sektor swasta.
Di sisi lain, penting pula mendorong lahirnya program inkubasi seniman muda, memperkuat kolaborasi dengan perguruan tinggi, dan membangun sistem distribusi karya yang berkelanjutan, termasuk lewat platform digital.
Tak kalah penting adalah membangun apresiasi masyarakat. Kampanye seni di media sosial, edukasi seni di sekolah, serta pelibatan seniman dalam event kota seperti Hari Jadi Surabaya bisa menjadi jalan memperluas jangkauan seni ke ruang publik.
Sebagai bentuk nyata dari semangat ini, FPKS akan menggelar acara seni bertajuk Membangun Ekosistem Seni yang Sehat di Surabaya, pada Senin, 21 Juli 2025, pukul 19.00 WIB di Galeri DKS.
Acara ini akan menampilkan kolaborasi lintas komunitas dalam dua genre: musik dan puisi.
Beberapa komunitas seni yang akan tampil antara lain Jawiswara (Unesa), Gapus (Unair), SSS, POSS, Saung Indonesia, Sanggar Anak Merdeka Indonesia, serta Surabaya Music Time. Pertunjukan ini mengusung semangat Budaya Arek, terbuka dan gotong-royong, atau dalam istilah lokal disebut rewang.
Tak hanya itu, acara juga akan menghadirkan Orasi Budaya oleh Arif Afandi, mantan Wakil Wali Kota Surabaya, yang akan membawakan refleksi mendalam mengenai tema utama: Membangun Ekosistem Kesenian yang Sehat di Kota Surabaya.
Melalui program ini, FPKS juga membuka peluang donasi bagi siapa pun yang ingin ikut ambil bagian dalam upaya besar ini. Dana yang terkumpul akan digunakan untuk mendukung rangkaian kegiatan kesenian selama 12 bulan ke depan.
Seni bukan sekadar hiburan. Ia adalah refleksi identitas, ruang ekspresi, dan investasi jangka panjang bagi kota.
Saat semua pihak bersinergi, Surabaya tak hanya akan dikenal sebagai kota industri, tetapi juga sebagai pusat seni yang dinamis, hidup, dan membanggakan.
(Redho)