Mandek di P21A, Ketika Hukum Berhenti di Tengah Jalan
  • Jelajahi

    Copyright © kabartujuhsatu.news
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Layanan Publikasi Media Online : Iklan, Berita, Banner

    Layanan Publikasi Media Online : Iklan, Berita, Banner
    Klik Gambar Inaproc Kabartujuhsatu di Kolom Pencarian

    Daftar Blog Saya

    Mandek di P21A, Ketika Hukum Berhenti di Tengah Jalan

    Kabartujuhsatu
    Selasa, 17 Juni 2025, Juni 17, 2025 WIB Last Updated 2025-06-18T05:22:35Z
    masukkan script iklan disini


    Makassar, Kabartujuhsatu.news, Selembar kertas laporan polisi yang telah pudar warnanya masih tergenggam erat di tangan Tanty Rudjito. Rabu (18/6). 


    Setiap kali ia membacanya, ingatannya kembali pada malam kelam di awal tahun 2024, saat ia menjadi korban penganiayaan yang mengubah hidupnya.


    Dengan harapan mendapatkan keadilan, ia melapor ke Polsek Tamalate. Namun, setelah lebih dari setahun berjalan, yang ia dapatkan justru jalan buntu.


    Padahal, Kejaksaan Negeri Makassar sudah menyatakan bahwa berkas perkara tersebut lengkap P21, sejak 20 Desember 2024. Artinya, tinggal selangkah lagi menuju meja hijau, pelimpahan tersangka dan barang bukti ke tangan jaksa penuntut umum, tapi hingga kini, langkah itu tak juga diambil.


    Status perkara kini resmi P21A, istilah teknis dalam proses hukum pidana yang menunjukkan bahwa penyidik tidak juga melakukan pelimpahan tahap dua meski berkas telah dinyatakan lengkap.


    Satu bentuk kelalaian, atau mungkin sebagaimana kecurigaan sejumlah pihak, indikasi pembiaran"?


    “Ini bukan lagi soal teknis. Ini soal tanggung jawab,” ujar TR dengan suara bergetar, matanya menyapu ruang tamu yang penuh tumpukan dokumen.


    “Saya sudah menjalani prosedur. Lalu kenapa hukum malah berhenti di tengah jalan?”


    Di pihak kejaksaan, kebingungan tak kalah besar. Andi Alamsyah, S.H., M.H., Kasi Intel Kejari Makassar, menyatakan pihaknya sudah beberapa kali menyurati penyidik agar segera menyerahkan tersangka dan barang bukti. Namun respons yang diharapkan tak kunjung datang.


    Pihak kepolisian sendiri menyebut adanya alasan kesehatan dari tersangka dan perpindahan personel penyidik sebagai penyebab keterlambatan. Tetapi bagi TR, itu hanyalah alasan yang diduga mengada-ada.


    “Saya lihat langsung pelaku dan istrinya hadir dalam gelar perkara di Polda Sulsel, bulan April lalu. Kalau benar sakit, kenapa bisa hadir?” tanya TR dengan nada geram.


    Kondisi ini kemudian menjadi perhatian publik, terutama aktivis perempuan dan pemerhati hukum.


    Mereka menilai apa yang dialami TR adalah potret kecil dari lemahnya perlindungan terhadap korban kekerasan, khususnya perempuan, dalam sistem hukum di Indonesia.


    “P21A itu bukan sekadar status administratif. Itu peringatan keras akan lemahnya kontrol internal aparat penegak hukum,” kata Jupri, pengamat hukum sosial.


    TR tak tinggal diam. Ia resmi mengajukan permintaan agar Kapolri, Kapolda Sulsel, dan Propam turun tangan langsung.


    Harapannya, tidak hanya agar kasusnya bisa dilanjutkan, tetapi juga agar tidak ada lagi korban yang harus mengalami hal serupa.


    “Saya hanya minta keadilan. Kalau hukum tak bisa berjalan untuk saya, bagaimana nasib perempuan-perempuan lain yang mungkin lebih lemah, lebih takut, dan tak bersuara?”


    Kasus TR bukan hanya soal pelimpahan yang tertunda. Ia mencerminkan krisis kepercayaan yang semakin dalam terhadap proses hukum yang seharusnya menjadi sandaran para korban.


    Ketika berkas sudah lengkap, namun keadilan tak kunjung datang, di situlah negara diuji, dan suara korban harus lebih lantang dari diamnya sistem.


    (DN) 

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini