Suta Widhya: Jahiliah Sepanjang Masa
  • Jelajahi

    Copyright © kabartujuhsatu.news
    Best Viral Premium Blogger Templates


    Daftar Blog Saya

    Suta Widhya: Jahiliah Sepanjang Masa

    Kabartujuhsatu
    Senin, 24 Mei 2021, Mei 24, 2021 WIB Last Updated 2021-05-25T02:00:38Z
    masukkan script iklan disini
    Pejalan kaki berbagi jalan dengan angkot dan kendaraan roda dua (Ist).

    Jakarta, Kabartujuhsatu.news,-Bila bicara Jahiliah, jangan anggap hanya ada sebelum Rasul lahir atau selagi Rasul hidup dan memperbaikinya. Hingga kini pun ada zaman tersebut. Begini penjelasannya :

    Zaman Jahiliah (bahasa Arab: جاهلية, Jāhilīyyah) adalah konsep dalam agama Islam yang menunjukkan masa di mana penduduk Makkah berada dalam ketidaktahuan (kebodohan). Akar istilah jahiliyyah adalah bentuk kata kerja I pada kata jahala, yang memiliki arti menjadi bodoh, bodoh, bersikap dengan bodoh atau tidak peduli.

    Pada saat itu kekuatan fisik jauh lebih diutamakan, baik secara individu maupun komunal. Beberapa suku di Arab sana sebelum Rasul lahir sudah melakukan kejahatan yang juga mencontoh dari zaman sebelumnya.

    Praktis setiap zaman dilahirkan nabi dan Rasul sebagai "wakil" Tuhan untuk mengajarkan agar manusia lebih beradab dan berbudaya. Sehingga kemanusiaan terbangun dengan memanusiakan manusia.

    Bung Karno pun berambisi membangun manusia Indonesia lebih utama daripada membangun sarana dan prasarana. Tapi, tenyata hingga kini manusia Indonesia jauh tertinggal oleh Korea, Jepang, bahkan Cina.

    Padahal bangsa Indonesia konon jauh lebih tua dari semua bangsa maju yang disebutkan di atas. Itu dibuktikan dengan ditemukannya Nenek moyang bangsa ini, Phitecantropus di Trinil, Jawa Timur. Bangsa nusantara ini jauh lebih tua dari nenek moyang bangsa Peking sekalipun.

    Fithkos yang artinya kera, anthropus berati manusia, dan erectus berati tegak. Berati Pithecanthropus Erectus adalah manusia kera yang berjalan tegak lurus. Oleh para ilmuwan Pithecanthropus Erectus disebut Homo erectus.

    Kegagalan Bung Karno tidak sendirian. Setiap penggantian Gubernur DKI pun melahirkan orang - orang atau pemimpin yang gagal dalam membangun manusia yang hidup di tanah Jakarta. Lihat saja buktinya, mayoritas jalan raya di Jakarta tidak memberikan kesempatan pejalan kaki berjalan dengan aman nyaman.

    Pejalan kaki yang turun dari Jaklingko di dekat Stasiun Tanah Abang harus berhati - hati berjalan bila ingin terhindar dari sempet motor mobil, maupun bus yang lewat. Bagaimana mau aman, Jalan hanya selebar 5,55 m tapi harus berbagi dengan angkot yang ngetem untuk antri dicatat oleh petugas.

    Memang untuk di sebagian daerah elit seperti Jalan Jenderal Sudirman, Jenderal Ahmad Yani, HR. Rasuna Said, Cikini dan lainnya sudah ada perubahan, yaitu perjalanan pedesterian dihargai. Tapi, belum untuk jalan - jalan lain seperti di Tanah Abang. Mengapa begitu? Karena pola jahiliyyah masih membekas?.
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini