Soppeng, Kabartujuhsatu.news Nilai-nilai kepemimpinan tradisional masyarakat Bugis kembali menjadi bahan perbincangan publik setelah budayawan dan wartawan, A. Agus PH Rauf, mengungkapkan tiga karakter kepemimpinan yang terekam dalam naskah kuno Lontara Bugis.
Dalam pandangan Agus PH, ketiga karakter tersebut dilambangkan melalui tiga hewan yang memiliki filosofi berbeda, yakni Manu Karame (ayam), Tedong (kerbau), dan Bale Bolong (Ikan Gabus).
Masing-masing menggambarkan tipe pemimpin dengan sifat dan perilaku yang masih relevan untuk dijadikan cerminan dalam kehidupan sosial maupun pemerintahan modern.
“Pertama, karakter Manu Karame atau ayam. Dalam pandangan masyarakat Bugis, pemimpin seperti ini tetap memberi makan anaknya, tetapi porsi lebih banyak justru dimakan oleh induknya sendiri. Artinya, tipe pemimpin ini tetap memperhatikan rakyatnya, namun masih lebih mengutamakan kepentingan pribadi,” ujar Agus PH saat ditemui di Warkop Triple F Pusper, Kabupaten Soppeng, Kamis (30/10/2025).
Ia menjelaskan, tipe pemimpin seperti Manu Karame kerap ditemukan dalam realitas politik dan birokrasi, di mana pemimpin tetap menjalankan tanggung jawabnya terhadap rakyat, namun keputusan dan kebijakan yang dibuat sering kali lebih berpihak pada keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Lebih lanjut, Agus PH juga memaparkan karakter kedua, yakni Pakkampi Tedong atau penggembala kerbau.
"Pemimpin seperti pengembala kerbau ini adalah karakter pemimpin yang ideal, Ia akan tetap merawat dan mengobati kerbaunya ketika sakit, karena mengingat jasanya di masa lalu dan tenaganya masih dibutuhkan di masa depan.
"Ia melambangkan kesetiaan dan penghargaan atas pengabdian,” jelas Agus
Menurut Agus, filosofi ini menekankan pentingnya menghormati bawahan atau rakyat yang telah berjasa.
Dalam pandangan budaya Bugis, kesetiaan dan penghargaan terhadap pengabdian merupakan nilai utama dalam menjaga harmoni sosial.
Adapun karakter ketiga, yaitu karakter kepemimpinan Bale Bolong (Ikan Gabus) , menggambarkan tipe pemimpin yang bersifat rakus dan kejam.
Agus PH menuturkan, dalam budaya Bugis, ikan gabus dikenal sebagai hewan yang kalau lapar dan tidak menemukan makanan, bahkan rela memakan anaknya sendiri. “Ini adalah simbol kepemimpinan yang tidak berperikemanusiaan.
"Pemimpin seperti ini dianggap tidak layak, karena justru merusak dan mengorbankan rakyat yang seharusnya ia lindungi,” ujarnya.
Agus menegaskan bahwa tiga karakter kepemimpinan tersebut bukan sekadar metafora dalam sastra Bugis, melainkan cermin bagi siapa pun yang memegang tanggung jawab kepemimpinan.
“Lontara Bugis mengajarkan kita untuk mawas diri. Setiap pemimpin sebaiknya bercermin pada nilai-nilai budaya, agar tidak terjebak menjadi pemimpin yang sekadar berkuasa tanpa makna,” pungkasnya.
Pandangan Agus PH ini menjadi pengingat penting di tengah dinamika politik dan sosial saat ini.
Nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam Lontara Bugis diyakini masih relevan untuk menumbuhkan etika dan moral kepemimpinan yang berakar pada budaya dan kemanusiaan.
(Red)





