Qurban dan Poligami: Antara Mampu tapi Tak Mau, dan Tak Mampu tapi Mau
  • Jelajahi

    Copyright © kabartujuhsatu.news
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Layanan Publikasi Media Online : Iklan, Berita, Banner

    Layanan Publikasi Media Online : Iklan, Berita, Banner
    Klik Gambar Inaproc Kabartujuhsatu di Kolom Pencarian

    Daftar Blog Saya

    Qurban dan Poligami: Antara Mampu tapi Tak Mau, dan Tak Mampu tapi Mau

    Kabartujuhsatu
    Kamis, 05 Juni 2025, Juni 05, 2025 WIB Last Updated 2025-06-05T09:49:30Z
    masukkan script iklan disini
    Oleh: Aswan, Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) SDN 148 Sanuale Kab. Soppeng

    Menjelang Hari Raya Idul Adha 1446 H, umat Islam kembali diingatkan pada sebuah momen spiritual yang penuh makna: tentang ketundukan Nabi Ibrahim, keikhlasan Nabi Ismail, dan kasih sayang Allah yang melimpahkan pengganti qurban. Perayaan ini bukan sekadar menyembelih hewan, melainkan momentum untuk menyembelih ego dan hawa nafsu yang kerap membelenggu hati manusia.

    Dalam perenungan menjelang Idul Adha tahun ini, penulis teringat sebuah ungkapan bernada satir tapi mengandung refleksi mendalam: “Qurban banyak yang mampu tapi tidak mau, poligami banyak yang tidak mampu tetapi mau.” Sepintas terdengar jenaka, namun jika kita telaah lebih dalam, ungkapan ini menjadi cermin bagi kondisi sebagian umat Islam saat ini.

    Qurban adalah ibadah sosial dan spiritual yang jelas tuntunannya. Ia tidak hanya mengajarkan kepasrahan kepada Allah, tapi juga wujud kepedulian terhadap sesama, terlebih bagi mereka yang jarang menikmati daging. 

    Sayangnya, masih banyak yang secara ekonomi tergolong mampu, tetapi enggan berqurban. 

    Mereka lebih memilih memenuhi keinginan duniawi yang konsumtif ketimbang berpartisipasi dalam ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah sekaligus menebar manfaat bagi masyarakat.


    Di sisi lain, tidak sedikit yang begitu bersemangat membicarakan poligami suatu perkara yang secara syariat dibolehkan dalam situasi tertentu, namun justru dilakukan tanpa kesiapan mental, spiritual, dan tanggung jawab. Banyak yang "mau", padahal secara lahir dan batin belum "mampu". 

    Padahal, poligami dalam Islam bukan sekadar mengikuti syahwat, tetapi amanah besar yang penuh konsekuensi.

    Fenomena ini menandakan bahwa sebagian dari kita masih memilih ibadah atau syariat bukan berdasarkan pemahaman dan kebutuhan ruhani, tetapi berdasarkan selera pribadi. 

    Padahal, agama ini mengajarkan mendahulukan yang wajib daripada yang mubah, dan lebih mengutamakan kemaslahatan daripada keinginan.

    Idul Adha seharusnya menjadi momentum untuk mengasah kepekaan hati dan kejujuran dalam beragama. 

    Mari kita ajukan pertanyaan dalam-dalam ke dalam diri: sudahkah saya menundukkan hawa nafsu seperti Nabi Ibrahim? Sudahkah saya bersedia berkorban demi kebaikan bersama seperti Nabi Ismail?

    Semoga Hari Raya Idul Adha tahun ini tidak berlalu begitu saja tanpa membawa perubahan dalam diri dan keluarga kita. 

    Mari berqurban bila kita mampu, dan mari menahan diri bila belum sanggup memikul beban syariat yang berat. Sebab agama ini bukan hanya soal hak, tetapi juga tanggung jawab.

    Selamat Hari Raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1446 H / 6 Juni 2025 M. 
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini